Ia menilai pernyataan Menkopolhukam Wiranto, Senin (29/5) yang menepis kekhawatiran atas keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme dan klaim Ketua Panja RUU Antiterorisme, Muhammad Syafii (Partai Gerindra) yang menyatakan semua fraksi bersetuju dengan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, harus dipandang sebagai upaya melemahkan sistem peradilan pidana terorisme.

“Bagaimana mungkin mandat reformasi yang menuntut TNI profesional sebagai aparat pertahanan dan telah berjalan selama hampir 19 tahun, kemudian diupayakan untuk kembali menjadi bagian dari penegakan hukum pidana terorisme?,” kata Hendardi.

Menurut Hendardi ini usulan yang membahayakan bagi akuntabilitas sistem peradilan pidana dan berpotensi menggeser pendekatan hukum menjadi pendekatan militer dalam pemberantasan terorisme.

Hendardi mengkawatirkan dampak perubahan pendekatan ini adalah pelanggaran HAM yang sulit dipertanggungjawabkan, karena dalam pendekatan keamanan, ‘due process of law’ cenderung diabaikan.

Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme selama ini telah berjalan dengan mekanisme perbantuan dan tetap meletakkan kewenangan pemberantasan terorisme pada Polri, sebagai penegak hukum.

Artikel ini ditulis oleh: