Dengan demikian, sebaiknya fokus utama revisi RUU Antiterorisme adalah pada penguatan kewenangan pre-trial bagi aparat kepolisian dan intelijen.

“Namun, karena kewenangan pre-trial juga berpotensi ‘abusive’, maka fokus perumusannya adalah pada batasan-batasan yang rigid bagaimana kewenangan itu dijalankan dan dipertanggungjawabkan. Termasuk bagian yang perlu diatur secara akuntabel adalah pemberlakuan informasi intelijen sebagai bukti dalam peradilan kasus terorisme,” kata Hendardi.

Potensi ancaman terorisme semakin menguat pascakekalahan ISIS di beberapa wilayah Suriah dan Iraq. Aksi-aksi terorisme belakangan ini juga diidentifikasi sebagai jaringan ISIS yang di dalam negeri menggunakan label Jamaah Anshoru Daulah (JAD).

Bom bunuh diri di Kampung Melayu adalah salah satu dari aksi jaringan JAD yang tidak terdeteksi dari sekian banyak potensi terorisme yang berhasil dicegah oleh Kepolisian dengan pendekatan penegakan hukum.

Oleh karena itu, pemerintah dan DPR diharapkan untuk segera mengesahkan revisi RUU Antiterorisme. Namun, percepatan pengesahan RUU itu tidak boleh mengubah pendekatan pemberantasan terorisme dari sistem peradilan pidana menjadi pendekatan non hukum.

Artikel ini ditulis oleh: