Jakarta, Aktual.com – Lahir dari keluarga biasa, bahkan dikategorikan miskin, namun tidak menyurutkan tekad Boimin (32) dalam menggapai cita-cita. Warga Dusun Winong, Desa Jembangan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur itu kini bekerja sebagai Asisten Dosen di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang.
Pada 22 Agustus 2016 lalu, ia terbang ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi S2 di University of Massachussets. Boimin meraih beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Kementerian Keuangan.
Boimin lahir empat bersaudara. Akan tetapi ketiga kakaknya meninggal saat kecil karena kekurangan gizi. Hanya Boimin, anak bungsu pasangan Wartini dan Amat Tukirin yang berhasil diselamatkan. Duka terus berlanjut, ayahnya Amat Tukirin turut dipanggil kehadirat-Nya karena permasalahan yang kurang lebih sama.
Boimin kecil selanjutnya diasuh Wartini yang lantas menikah dengan Wagito. Ayah barunya ini pulalah yang kemudian memberikan semangat dengan ikhlas kepada Boimin kecil untuk belajar. Wagito dan Wartini tidak mengijinkan Boimin kecil mengerjakan pekerjaa nlain selain belajar dan meraih keberhasilan di sekolah.
Sehari-hari, ayahnya bekerja sebagai pengepul ayam kampung dan dijual ke Pasar Ngawi. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bisa dibilang keluarga Wagito pas-pasan. Bahkan kerap mencari utangan ke tetangganya.
“Saya ini langganan pinjem uang untuk sekolah Boimin, ada yang dibayar secara harian, mingguan, atau bulanan,” terang Wagito.
Tak jarang, Wagito dan Wartini dicemooh tetangganya karena dianggap terlalu memaksakan anaknya sekolah padahal hidupnya pas-pasan. Semua itu tetap menjadi masukan berarti, namun tekadnya mengalahkan cemoohan para tetangganya.
“Anak kami itu hanya Boimin setelah kakak-kakaknya dan ayahnya meninggal. Jadi Boimin harus berhasil dalam hidupnya, tak ada pilihan lain. Itu yang selalu saya tekankan pada Boimin,” tuturnya.
Wagito bekerja keras untuk mewujudkan harapannya itu. Siang hari ikhtiar bekerja menjadi pengepul ayam kampung, malamnya ikhtiar meminta kepada Allah SWT. Semua itu dilakukan agar sekolah anaknya dilancarkan dan meraih masa depan yang lebih baik.
Boimin, ceritanya, dalam keseharian tidak bermain dengan teman-teman sebaya. Pulang sekolah, Boimin belajar sebentar untuk kemudian ngaji di masjid dekat rumahnya pada sore hari. Malamnya belajar sebentar dan tidur.
Masih belum cukup, usai sholat subuh bersama kedua orang tuanya Boimin kecil masih menyempatkan kembali belajar.
“Tidak ada televisi, radio, atau hiburan apapun. Kami, kalau enggak tidur ya nemenin Boimin belajar,” terang Wagito.
Apa yang diterapkan dan dilaksanakan dengan baik oleh Boimin. Hasilnya, sejak SD hingga SMA anaknya selalu menduduki ranking lima besar. Dari SMA, Boimin diterima di Fakultas Teknologi Pertanian Unibraw.
“Biaya kuliah saat itu sekitar Rp 375 ribu per semester. Untuk biaya hidup, kami hanya ngasih sekitar Rp 150 ribu per minggu setiap dia pulang. Cukup atau tidak saya tidak tahu, tapi Boimin tidak pernah minta lagi dan tidak pernah ngeluh,” urainya.
Hal lain yang turut membanggakan Wagito, mulai muncul kesadaran warga sekitar. Tetangganya yang mampu mulai menyekolahkan anaknya hingga jenjang pendidikan tinggi.
“Sebelumnya nyaris tidak ada, tapi setelah Boimin kuliah, banyak yang nguliahin anaknya. Mungkin mereka tertantang, masak kami yang miskin ini bisa nguliahin anaknya, kok mereka enggak tertarik padahal lebih mampu,” beber Wagito.
Boimin sendiri dalam proses pendidikannya diketahui pernah meraih Anugerah Youth National Science and Technology Award Tahun 2010, Program Kapal Pemuda Nusantara (KPN) 2010, Pemuda Berprestasi 2011. Boimin juga sempat menjadi Ketum Korps Alumni (KPN).
Atas keberhasilan Boimin itu, orang tuanya Wagito diganjar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendi sebagai salah satu dari 15 orang sebagai penerima Apresiasi Orang Tua Hebat 2016.
Penghargaan diberikan Mendikbud pada pertengahan tahun ini. Mendikbud berharap penghargaan yang diberikan dapat memotivasi dan menginspirasi orang tua lainnya se-Indonesia.
Sementara Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga, Ditjen PAUD dan DIKMAS, Sukiman, menyatakan keluarga adalah pendidik yang pertama dan utama. Keteladanan keluarga merupakan investasi luar biasa bagi bangsa Indonesia. Konsep keluarga sebagai pendidik sejak lama dicetuskan Ki Hajar Dewantara.
Sejak tahun 1935, Ki Hajar Dewantara mencetuskan Tri Sentra Pendidikan, yakni pedidikan alam keluarga, pendidikan alam perguruan dan pendidikan alam pergerakan pemuda. (Soemitro)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid