Jakarta, Aktual.com — Suatu saat Ibrahim bin Adham berjalan di tepi pantai. Tak disengaja, matanya melirik sepasang manusia berduaan dengan begitu mesranya. Terlintas di benak Sufi ini, bahwa sepasang kekasih itu sedang dimabuk cinta.
Tak hanya mabuk cinta, ternyata mereka juga sedang mabuk dalam arti yang sesungguhnya. Terlihat di sekeliling mereka beberapa botol minuman berserakkan, dimana ada bekas botol yang baru saja selesai dikosongkan isinya.
Kemudian, Ibrahim bin Adham terkesima dengan pemandangan yang dia lihat sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia berpikir, betapa musykilnya sepasang manusia tersebut, bermaksiat sedemikian mudahnya, seakan tidak memiliki dosa.
Lalu, tiba-tiba dalam jarak beberapa meter di depan mereka, gelombang laut mengganas menerjang pinggiran pantai. Menghanyutkan siapapun yang berdekatan, tak pandang bulu. Beberapa orang berusaha berdiri, berenang, dan berlari menjauh ke arah daratan.
Sebagian mereka sukses menyelamatkan dari terjangan ombak. Namun naas, lima lelaki tak kuasa diseret gelombang laut. Sekejap, pria mabuk yang sedang bermesraan di pinggir pantai itu berlarian menuju ke arah lima orang yang hanyut.
Ia berusaha menarik satu-persatu laki-laki yang hampir terbawa arus. Ibrahim bin Adham yang melihat kejadian tersebut hanya bisa terdiam, berdiri mematung di tempatnya. Antara tercengang dengan kejadian yang terjadi begitu cepat di depan matanya dan juga tidak bisa berenang.
Sementara itu, si pria itu begitu cekatan berlari dan berenang. Tak membutuhkan waktu lama, si pemuda mabuk tadi berhasil menyelamatkan empat orang. Kemudian ia kembali. Namun bukannya kembali ke perempuan yang tadi sempat ditinggalkan sejenak, lelaki ini justru menuju ke arah Ibrahim bin Adham.
Belum terjawab kebingungan Ibrahim bin Adham, tiba-tiba saja, ia mengucapkan beberapa kalimat, padahal Ibrahim bin Adham tidak bertanya sepatah katapun.
“Tadi itu saya hanya bisa menyelamatkan empat nyawa, sementara kamu seharusnya menyelamatkan sisa satu nyawa yang tidak bisa saya selamatkan.”
Belum selesai kebingungan Ibrahim bin Adham, pria kembali berkata, “Wanita yang di sebelahku itu adalah ibuku. Dan, minuman yang kami minum hanyalah air biasa,” katanya memberikan penjelasan. Seolah ia mampu membaca semua apa yang dipikirkan oleh Ibrahim bin Adham.
Kejadian itu mampu menyadarkan sang Ulama terkenal, Ibrahim bin Adham. Seketika itu hati beliau dipenuhi sesal dan taubat. Pria yang sempat dianggap ahli maksiat ternyata jauh lebih baik dibandingkan beliau yang terkenal ahli ibadah.
Kejadian itu begitu membekas dalam hidup Ibrahim bin Adham hingga wafatnya. Bila seorang Ibrahim sang Sufi saja bisa terjebak dalam perangkap tersebut, bagaimana dengan kita manusia akhir zaman?
Betapa seringnya kita berada di posisi seringkali ‘memvonis’ manusia. Atas sedikit fakta yang kita tahu hanya sedikit tentang kehidupannya, kita menuduhnya dengan stigma yang sangat tidak pantas atau tak layak.
Terkadang, bila seorang teman kita yang Muslim yang tak menyapa ketika berpapasan dengannya sekali waktu, seketika kita beranggapan bahwa ia sombong. Padahal di balik itu, ia sedang dirundung masalah besar, bersedih, atau juga tidak melihat kita.
Ketika seorang teman tak memberi kita pinjaman uang, seketika kita menduga bahwa dia pelit. Padahal di balik itu ia sedang berusaha mendapatkan banyak uang untuk kebutuhan ibunya atau untuk membayar utang-utangnya.
Di saat seorang sahabat kita tak memenuhi undangan kita, terlintas di benak jika ia seorang yang tak menghargai. Padahal di balik itu, dia mendapatkan sebuah tanggungan yang harus segera diselesaikan hari itu juga sementara ia sungkan untuk memohon izin dikarenakan penghormatannya.
Penyebab retaknya ukhuwah Islamiyah dengan sesama Muslim salah satunya disebabkan oleh salah persepsi. Lalu melahirkan saling mencurigai dan saling bersuudzon (berprasangka buruk). Tak sengaja ketika kita menganggap seseorang berdasarkan persepsi kita maka yang terjadi adalah rasa kekecewaan terhadap semua orang.
Sementara itu, tanpa disadari hal ini juga membangkitkan rasa ego sedikit demi sedikit menjadi pribadi yang superior, tanpa cela, dan anti kritik. Sampai akhirnya menganggap diri sendiri yaitu segalanya. Sang manusia sempurna dan pemilik kebenaran seorang diri, atau kelompoknya semata. Betapa berbahayanya.
Rasulullah SAW memberikan nasehat, “Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk merupakan seduta-dustanya ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah SWT yang bersaudara” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari Hadis no. 6064 dan Muslim Hadis no. 2563).
Pesan dari Nabi Muhammad SAW tidak sekadar nasihat biasa. Beliau mewanti-wanti supaya umatnya selalu menjaga diri. Betapa gelisahnya Rasulullah SAW jika mengetahui ada diantara umatnya yang saling merendahkan sesama.
Berburuk sangka termasuk perilaku yang salah, sekaligus pemantik dosa. Ketika seseorang berburuk sangka dan sangkaannya itu benar, maka sama sekali ia tak akan mendapat pahala seidkit pun.
Sedangkan, bila ia berburuk sangka dan sangkaannya itu salah, maka pasti atasnya perbuatan dosa. Betapa tak bermanfaatnya berburuk sangka, menstigmaisasi, dan menghakimi seseorang dari apa yang sedikit pengetahuan kita tentang dia.
Bertemu dengan semua orang seharusnya menjadi cermin untuk diri kita untuk lebih baik lagi. Hal ini diawali dengan rasa saling percaya dan berbaik sangka. Ketika bertemu anak kecil, pikirkan bahwa bisa jadi ia jauh lebih baik dari kita, karena di usianya yang belia, ia masih sedikit dosa dan salah.
Ketika bertemu dengan orang tua, pikirkan bahwa ia jauh lebih baik dari kita, lantaran usianya yang sudah sepuh, berarti ibadahnya pun jauh lebih banyak dibanding kita.
Bertemu orang gila sekali pun ada kesempatan bagi kita berpikir positif, bisa jadi ia lebih baik dan lebih dulu masuk Surga dibandingkan dengan kita. Sebab, orang gila itu tidak dibebani syariat oleh Tuhan yang Maha Adil, sehingga ia tanpa cela.
Terlebih ketika bertemu dengan manusia yang cacat fisiknya. Orang buta, tuli, bisu, bisa jadi mereka jauh lebih baik dari kita. Mereka tak pernah menggunakan inderanya untuk melihat, mendengar, dan mengucap dosa. (Dari berbagai Sumber).
Artikel ini ditulis oleh: