Jakarta, Aktual.com — Bagi koruptor, kehidupan hedonisme lebih penting ketimbang urusan kematian, apalagi menyangkut akhirat dan “tetek bengek” yang berkaitan dengan ritual keagamaan seperti tidak disalatkan ketika meninggal kelak.
Dalam keseharian, seorang kopruptor bisa terlihat religius. Bisa jadi pula tatkala berkuasa dan menjabat bersikap alim, namun dalam perjalanan tak tahan kerena begitu indah dan nikmatnya kekuasaan, maka yang bersangkutan tak kuat iman dan melakukan korupsi.
Lantas meninggal dan jenazahnya tak disholatkan. Apa dasar hukumnya? Dalam realitasnya, koruptor mengemas bersiasat dengan mulut manis. Tapi, ia pun tak segan menjadi berang bagai harimau lapar dengan tetap menjaga citra dirinya dapat diterima lingkungan sosialnya.
Tak heran, seseorang yang memiliki citra baik di hadapan publik dalam beberapa bulan ke depan sudah berhadapan dengan penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian atau Kejaksaaan.
Banyak terungkap sudah bahwa koruptor berakhlak bejat. Tindakannya tetap saja tidak mengindahkan hukum, mengabaikan kepentingan warga miskin. Ketika beraksi tidak segan-segan melibatkan anggota keluarga. Dia bukan lagi teladan sebagai kepala keluarga, tetapi justru menjadi pimpinan yang membawa anggota keluarga ke lembah keterpurukan dan jauh dari harapan untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Adanya ajakan umat Islam untuk tidak menyolatkan jenazah bagi koruptor, sejatinya patut jadi bahan pertimbangan semua pihak. Utamanya kalangan ulama. Mereka itu perlu melakukan kajian secara komprehensif dan memberi pertimbangan kepada pemerintah, apakah perlu dilakukan sholat jenazah bagi koruptor atau tidak. Sementara umat Muslim harus terus-menerus perlu diberi pencerahan tentang bahaya korupsi dan risiko yang bakal dipikul koruptor dan anggota keluarganya.
Pencerahan mengenai hal itu sangat penting dan dilakukan secara berkesinambungan. Sebab, korupsi di negeri ini sudah mengkhawatirkan berbagai sendi kehidupan. Untuk menangkalnya tidak cukup dengan pidato, retorika dan berbagai imbauan. Rakyat pun kini perlu keteladanan dari seluruh pemegang kekuasaan.
Jauh sebelum mengemuka agar umat Islam tidak menyolatkan jenazah koruptor, sebetulnya dalam kisah-kisah perjalanan kehidupan Nabi Muhammad SAW sudah terungkap bahwa Rasulullah pernah tidak berkenan men-salatkan jenazah disebabkan meninggal dalam keadaan berutang.
Kisahnya begini, Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah.
Lalu Beliau bertanya, “Apakah dia memiliki utang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu Beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!”.
Lalu Beliau bertanya, “Apakah dia memiliki utang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu Beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak tiga dinar”. Lalu Beliau me-salati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu Beliau bertanya, “Apakah dia memiliki utang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Salatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung utangnya.” Kemudian Beliau pun menyolatinya. (HR. Bukhari no. 2289)
Pembelajaran Kisah Nabi Muhammad SAW tersebut memberi gambaran dan pembelajaran bagi umat Islam bahwa seseorang yang meninggalkan utang tetap harus dibayar. Termasuk pula bagi seorang pejuang muslim pun dikenai kewajiban untuk melunasi utangnya ketika meninggal. Biarpun mati syahid, jika tak bayar utang dosanya tidak diampuni.
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim no. 1886) Karena memiliki utang sebesar tiga dinar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak berkenan untuk menyolatkan jenazah. Setelah ada pihak yang menyatakan akan menanggung utang-utangnya, barulah Rasulullah mau menyolatkan. Bagaimana dengan utang-utang para koruptor yang jumlahnya “bejibun” di negeri ini. Tentu masuk akal, jika ada pihak mengangkat persoalan isu tidak menyolatkan jenazah koruptor mendapat sambutan beragam.
Menghadapi sikap pro dan kontra tentang perlu dan tidaknya menyolatkan jenazah koruptor, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyerahkan persoalan tersebut kepada para Ulama.
Lukman mengakui bahwa persoalan tersebut mencuat bersamaan dengan pelaksanaan muktamar Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Di kalangan muktamirin ada di antaranya merasa geram dengan ulah para koruptor di negeri ini, sehingga ada yang mengusulkan hal itu.
Sebagai wakil pemerintah dan Umaro, persoalan itu diserahkan kepada Ulama.
“Saya menyerahkan kepada Ulama,” ia menjelaskan.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah (PP PM) Dahnil Anzar Simanjuntak merekomendasikan jenazah koruptor agar tidak dishalatkan. Ini merupakan hukuman bagi para koruptor agar jera.
Menurut Ketua PP PM ini, tingkatan kejahatan korupsi lebih kejam dari pembunuhan massal. Alasannya, korupsi membunuh rakyat secara perlahan. Namun mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif tidak sependapat dengan usulan jenazah koruptor tidak disholatkan.
“Mereka juga Muslim,” kata Syafii di Makassar, Rabu (5/8) kemarin.
Menurut Syafii, disalatkan merupakan hak setiap Muslim yang meninggal, termasuk jika memiliki dosa sebesar apa pun. Karena menurut dia, sejatinya dosa adalah urusan setiap individu dengan Tuhannya.
Muslim yang masih hidup, kata dia, tetap memiliki kewajiban untuk me-salatkan jenazah Muslim lainnya. Dalam hukum agama, kewajiban apabila ditinggalkan justru akan menjadikan dosa bagi pelakunya.
Terkait hal ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga pernah menyinggung soal menyolatkan jenazah para koruptor. Pihak NU mengaku pula tidak pernah mengeluarkan fatwa mengenai larangan untuk menshalatkan jenazah koruptor yang beragama Islam, karena hukum menyelenggarakan shalat jenazah adalah fardlu kifayah.
Dalam Islam, fardu kifayah dapat dimaknai secara sederhana yaitu status hukum dari sebuah aktivitas yang wajib dilakukan, namun bila sudah dilakukan oleh muslim yang lain maka kewajiban ini gugur. Masuk dalam fardu ini di antaranya menyolatkan jenazah muslim.
“Yang difatwakan adalah bahwa para ulama atau kiai dianjurkan untuk tidak ikut menshalatkan jenazah koruptor sebagai sebuah sanksi sosial untuk tindak pidana korupsi,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.
Penegasan itu penting disampaikan terkait banyaknya kalangan yang salah paham terhadap fatwa yang diputuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada 2002 tersebut.
Fatwa agar Ulama atau Kiai tak menshalatkan jenazah koruptor dimaksudkan agar memunculkan efek jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi.
Artikel ini ditulis oleh: