Jakarta, Aktual.com — Rencana pemerintah Indonesia untuk bergabung ke dalam Trans Pacific Partnership (TPP) terus menuai kritikan dari sejumlah kalangan.
Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menduga jika hal itu dilakukan untuk menghindari pandangan Amerika Serikat terhadap Indonesia yang condong ke China. Sebab sudah beberapa kali Indonesia lebih intens dalam melakukan kerjasama internasionalnya dengan pemerintah China.
Maka dari itu, untuk menghilangkan kecurigaan, Presiden Joko Widodo kemudian mengimbanginya dengan rencana untuk bergabung di TPP tersebut.
“Makanya condong ke Amerika Serikat itu supaya kita netral dan menjalankan politik bebas aktif. Makanya pernyataan Presiden tersebut intens bertanya mengenai ketertarikan dalam TPP,” kata Hikmahanto kepada wartawan, Jakarta, Selasa (3/11).
Hikmahanto menilai bahwa tidak ada urgensi yang mengharuskan Indonesia bergabung dalam TPP, sebab sejak awal Indonesia tidak masuk di dalam proses negosiasi perjanjian, sehingga Indonesia tidak memiliki posisi tawar terhadap perjanjian tersebut.
“Jika perjanjian tersebut diikuti oleh Indonesia, maka konsekuensinya yaitu banyaknya peraturan Indonesia yang harus dirubah, disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam TPP,” sebutnya.
Selain itu, jika pemerintah Indonesia mengikuti isi perjanjian TPP maka tidak akan ada lagi keistimewaan yang diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara. Padahal menurut pasal 33 UUD 1945, keistimewaan tersebut sering kali diberikan kepada BUMN. Kemudian, dengan masuknya Indonesia dalam TPP akan berdampak kepada pasar Indonesia yang akan dieksploitasi.
“Jadi menurut saya sebaiknya memang Indonesia tidak masuk TPP ini. Apalagi kita akan masuk ke dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ini (MEA) saja belum pasti kesiapan Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakat terhadap MEA,” jelas dia.
“Menurut saya lebih banyak kerugiannya dibanding keuntungannya,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan