Presiden Joko Widodo (tengah), memberikan keterangan pers usai pertemuan dengan pimpinan partai dan sekjen partai pengusung koalisi di kawasan Menteng Jakarta Pusat, Kamis (9/8/2018) sore.  Hasil pertemuan tersebut memutuskan KH Ma'ruf Amin sebagai cawapres yang akan mendampingi Jokowi pada Pilpres 2019. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Polemik tentang kubu pro dan kontra terhadap gerakan #2019GantiPresiden semakin menjadi-jadi pada beberapa waktu belakangan ini.

Perselisihan ini harus segera dilokalisir dan dihentikan secepat mungkin. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra) Poempida Hidayatullah.

Poempida mengaku khawatir jika gesekan ini didiamkan begitu saja lantaran tak ada sedikitpun keuntungan yang dapat diambil oleh bangsa Indonesia dari konflik ini.

“Yang harus kita lihat sebenarnya untungnya (gesekan) bagi bangsa ini apa. Dalam keadaan yang agak mengkhawatirkan mungkin kedua belah pihak harus benar-benar maju dan tampil bersama untuk stop hal ini dan legowo,” ujar Poempida di Jakarta, Selasa (28/8).

Ia menegaskan, penyelenggaraan Pilpres tahun depan harus menjauhkan Indonesia dari potensi disintegrasi alias pecah belah bangsa.

“Buat pilpres baru yang bersejarah yang tidak ada baper, persoalan dan sakit hati. Jadi saya minta keempat-empatnya (pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi) untuk menjadi negarawan pada saat ini,” jelas Poempida.

Poempida menerangkan, perdebatan dan perpecahan yang disebabkan oleh hastag ganti presiden 2019 saat ini tidak akan menghasilkan apa-apa. Ia mengibaratkan perdebatan yang terjadi saat ini selayaknya pertarungan tinju yang tidak dilakukan di dalam ring.

“Ibaratkan begini kalau misalnya Muhammad Ali dan Joe Frazier bertarung pada ring tinju ada yang diperebutkan. Kalau berantem diluar apa yang diperebutkan?,” sindir dia.

Poempida melanjutkan, bahkan dalam konteks perperangan zaman dulu di kisah Mahabharata perang itu dilakukan saat matahari terbit sampai tenggelam, ketika malam perang tidak dilanjutkan. Analogi ini dimaksudkan Poempida bahwa sedianya massa pendukung capres-cawapres seharusnya bersabar menunggu sampai massa kampanye tiba.

“Kita sebagai manusia modern yang menghargai HAM, norma seutuhnya harus dapat mengadu gagasan. Tapi kok ini tidak bisa kita atur atau menunggu sampai saat kampanye tiba,” kata Poempida.

Jangan sampai, lanjut Poempida, gara-gara perdebatan dan perpecahan ini nantinya generasi penerus bangsa akan menilai leluhurnya sebagai ‘tukang berkelahi’ saja untuk berebut kekuasaan.

Sejumlah masyarakat mengenakan kaus #2019GantiPresiden di Car Free Day (CFD) di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (29/4/18). Kaus dan atribut lain dipakai masyarakat untuk olahraga. AKTUAL/Tino Oktaviano

 

Pada kesempatan ini, Poempida memberikan masukan satu cara berkomunikasi yang dilakukan oleh pihak Istana untuk menetralisir kegaduhan ini.

Istana, melalui Presiden Joko Widodo, kata Poempida, seharusnya tidak menetralisir hal-hal yang ekstrem dengan cara yang ekstrem juga. Jokowi seharusnya dapat melakukannya dengan cara yang ‘smooth’ yakni memberikan respon sebaliknya dari gerakan tersebut.

“Kalau konteksnya #2019GantiPresiden, Pak Jokowi bisa menetralisir dengan mudah. Pak Jokowi bisa mengatakan, jika memang ini menjadi sesuatu keinginan masyarakat silahkan tidak pilih saya, tapi kalau masih percaya sama saya silahkan pilih saya lagi,” ujar Poempida mencontohkan.

“Kalau perlu kaosnya dibeli dan dipajang di Istana lalu mengatakan ini merupakan cerminan saya untuk bekerja lebih baik lagi. Itu teknik komunikasi saja. Karena kalau api disiram bensin tentu menjadi-jadi. Mungkin harus disiram air saja biar adem,” terangnya beranalogi.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan