Yudi Latif
Yudi Latif

Saudaraku, apakah alam semesta ini tercipta dari ketiadaan oleh kreasi intelligent design atau ada dengan sendirinya dari kesilaman abadi sebagai hasil mekanisme alamiah hukum-hukum fisika yang menjadi fondasi keberadaan segala hal? Persoalan ini telah mengundang perdebatan antara para teolog dan saintis teistik versus para saintis materialis-ateistik. Suatu perdebatan yang dalam perkembangannya membawa agama dan sains diposisikan secara berseberangan.

Suatu kerangka argumen untuk menjawab pertanyaan di atas secara meyakinkan dikemukakan dalam buku Return of the God Hypothesis karya Stephen C. Meyer (2021)– seorang filsuf sains terkemuka, Director The Center for Science and Culture pada The Discovery Institute, Washington, dan seorang pendukung intelligent design terkemuka dunia. Sebuah buku yang menunjukkan marka-marka jalan alternatif yang bisa mendekatkan kembali sains dan teologi.

Dalam buku tersebut, Meyer menunjukkan bahwa sains pada temuan tercanggihnya telah membuktikan kebenaran pandangan mereka yang berpegang pada keyakinan mendalam akan eksistensi Tuhan yang bekerja melampaui ruang dan waktu. Sedari awal peristiwa Big Bang, hingga pembentukan sel-sel hidup pertama di bumi, dan seterusnya hingga saat ini, dapat kita kenali adanya setelan tepat (fine-tuning) yang menakjubkan di seluruh ranah semesta yang menunjukkan bahwa Tuhan benar-benar telah meninggalkan tanda tangan-Nya pada maujud yang sangat besar maupun yang sangat kecil.

Tesis buku ini hendak membuktikan bahwa suatu kekuatan intelek (mind) yang jauh lebih superior daripada daya cipta kita bukan saja telah menciptakan alam semesta, namun juga dengan sengaja mengaturnya agar memiliki sifat-sifat yang diperlukan agar kehidupan manusia bisa eksis dan berkembang. Meyer meneliti tiga penemuan ilmiah penting untuk mendukung tesisnya: (1) bahwa organisme mengandung informasi biologis yang sumbernya tidak hanya bersifat fisik atau material; (2) bahwa hukum-hukum fisika telah disesuaikan secara tepat untuk menopang kehidupan pada umumnya dan kehidupan manusia pada khususnya; dan (3) bahwa alam semesta mempunyai permulaan tertentu dalam ruang dan waktu.

Berdasarkan karya terlaris sebelumnya, Signature in the Cell dan Darwin’s Doubt, yang mengkaji implikasi informasi biologis, Meyer meneruskan dgn membawa penyesuaian (fine-tuning) kosmik dan asal usul alam semesta dalam singularitas Big Bang untuk berargumentasi secara persuasif bahwa satu-satunya penjelasan terbaik untuk ketiga fenomena ini adalah keberadaan Sang Pencipta. Tuhan yang melampaui kontinum ruang-waktu dan telah campur tangan sepanjang sejarah semesta untuk memastikan bahwa makhluk-makhluk yang tercipta sesuai citra-Nya pada waktunya kelak akan muncul di bumi.

Meskipun Meyer hanya berkonsentrasi pada tiga isu dalam buku ini—fine-tuning, asal usul informasi biologis, dan singularitas pada permulaan waktu—ada fenomena alam lain yang juga mengarah pada Tuhan pencipta. Fenomena pelik tentang kemunculan kesadaran (consciousness), misalnya, masih merupakan misteri besar, terutama bagi mereka yang menganut pandangan dunia materialistis atau evolusioner, namun hal ini agaknya cocok dengan kerangka teistik.

Jika hipotesis Tuhan adalah satu-satunya penjelasan terbaik mengapa alam semesta seperti ini, dapatkah kita menyimpulkan sesuatu tentang sifat ketuhanan tersebut? Meyer membahas tiga kemungkinan utama: panteisme, deisme, dan teisme.

Panteisme menegaskan bahwa Tuhan adalah totalitas seluruh alam, Brahman dari agama-agama Timur. Meyer menunjukkan bahwa panteisme tidak dapat menjelaskan penyesuaian kosmik yang kita amati, karena ketuhanan yang menciptakan alam semesta harus melampaui ruang dan waktu. Akan tetapi, semua teks agama besar di Timur menggambarkan adanya dewa yang baru ada setelah alam semesta ada.

Deisme, di sisi lain, berpendapat bahwa Tuhan bersifat transenden, tetapi menolak keterlibatan Tuhan dalam cara kerja alam setelah permulaan. Dengan kata lain, Tuhan (entah bagaimana) mengedepankan hukum alam untuk menjamin bahwa makhluk seperti kita suatu masa akan muncul, namun Dia kemudian mundur dan membiarkan segala sesuatunya berjalan dengan sendirinya.

Namun, bukti ilmiah aktual yang terungkap menunjukkan bahwa Tuhan berperan aktif dalam penciptaan-Nya sepanjang waktu. Misalnya, sejumlah besar informasi baru telah diperkenalkan ketika rancangan tubuh hewan kompleks pertama kali muncul selama Ledakan Cambrian, sekitar setengah miliar tahun yang lalu. Catatan fosil menunjukkan bukti jelas adanya kepunahan massal yang diikuti dengan munculnya bentuk-bentuk kehidupan baru dengan cepat.

Hal itu sejalan dengan Tuhan yang selalu bekerja, seperti dikatakan Yesus Kristus: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga.” (Yohanes 5:17). Sejalan pula dengan ayat Al-Qur’an, “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur” (Al-Baqarah: 255).

Betapapun, sifat ketuhanan yang personal yang disimpulkan Meyer itu bisa saja masih membuka kemungkinan bagi penjelasan alternatif. Di sana masih ada banyak pertanyaan yang menggantung: bagaimana mekanisme dan batas-batas keterlibatan Tuhan itu?

Demikian ringkasan buku tersebut. Tak lupa, kredit perlu diberikan pada Dr. Neil English yang telah meresensi buku tersebut secara baik dalam Touchstone Magazine, Maret/April 2022.

Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan