Saat utang yang ditanggung tiap-tiap penduduk angkanya sudah pasti dan harus dibayar, pendapatan Rp 60 juta setiap bayi yang baru lahir adalah angka yang distortif alias karena GDP per kapita tidak memisahkan apakah penghasilan itu dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan asing atau oleh perusahaan lokal.

Semua output ekonomi dihitung sebagai GDP. Di sinilah tampak betapa struktur keuangan nasional begitu memberatkan masyarakat.

Menjelang pemilihan umum 2024, seluruh elemen bangsa ini, menurut Hardjuno musti sadar apa masalah mendasar bangsa ini. Karena tanpa itu, yang akan terjadi rakyat akan selalu dikorbankan dalam perebutan kekuasaan para elit. Sehingga tak heran selalu ada gesekan fisik di tingkat bawah saat pesta demokrasi.

Anggaran negara terus saja dihambur-hamburkan untuk para elit yang bersandar pada penambahan utang. Sementara uang di bank yang disimpan oleh rakyat disalurkan kepada konglomerat.

“Kalau terus dibiarkan, ketimpangan makin lebar dan rakyat makin sengsara,” pungkas Hardjuno.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin