Yogyakarta, Aktual.com – Rencana pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara tentang pembentukan holding Pertamina-PGN ditengarai bukan menjadi solusi tepat atas carut marut sektor energi terutama migas di Indonesia.
“Secara akademik kita belum menemukan bukti kuat kalau holding Pertamina atas PGN akan membuat kondisinya jadi lebih baik,” ujar Kusdhianto Setiawan, Pakar Energi dari Pusat Studi Energi (PSE) UGM Yogyakarta, Selasa (28/6).
Menurutnya, daripada mewacanakan sesuatu yang hasilnya belum tentu, lebih baik fokus pada bagaimana membuat PGN lebih besar dan membikin Pertamina lebih baik. PGN sendiri saat ini telah menjadi perusahaan holding industri gas yang cukup stabil, kinerja PGN sebagai perusahaan induk dinilainya justru lebih baik dan transparan ketimbang Pertamina.
“Pertamina mensinergikan anak-anak perusahaannya macam Petral dan ISC saja tidak bisa,” kata Kusdhianto.
Dalam rencana holdingisasi ini, sambungnya, yang tidak dimunculkan adalah publik sebagai pemegang saham PGN meski dalam skala minor seakan-akan tidak diajak bicara oleh pemerintah untuk menentukan masa depan PGN, bahwa UU Pasar Modal sesungguhnya menjamin perlindungan kepentingan investor publik tersebut.
“Jika pasar bereaksi negatif atas skema holding ini maka pemerintah bisa dituduh merugikan kepentingan pemegang saham publik, itu yang harus diperhatikan,” tandasnya.
Di dunia korporasi baik itu keputusan holding, merger ataupun akuisisi harus melalui RUPS sebab jika tidak maka dianggap ada penyembunyian informasi sehingga tentu melanggar kepentingan investor. PGN yang sudah stabil tiba-tiba diwacanakan merger dengan Pertagas lalu dijadikan anak perusahaan Pertamina tentu mengecewakan investor publik karena tidak ada jaminan kedepan bakal lebih baik. Kusdhianto memandang ini besar pengaruhnya terhadap penciptaan iklim investasi yang sehat.
“Kalau saya sebagai investor melihatnya ini ada informasi yang nggak jelas, pemerintah tidak transparan, ada apa antara pemerintah dan Pertamina? Investor tentu menilai iklim investasi di Indonesia sebenarnya tidak sehat,” sindirnya.
Kusdhianto mencermati, akar masalah yang ada sebenarnya pada tata kelola bisnis gas di Indonesia. Peran pemerintah sebagai regulator harusnya lebih ditonjolkan, misal, mengatur area penjualan, jaminan ketersediaan, harga murah baik bagi konsumen masyarakat atau industri serta efisiensi pembangunan infrastruktur agar tidak saling tumpang tindih antar pihak. Jika masalah tata niaga ini tidak diatur terlebih dulu maka menurutnya pembentukan holding bakal sia-sia.
“Wacana PGN yang dulu mau ditunjuk sebagai Gas Aggregator jauh lebih penting untuk dibahas ketimbang holding. Supply, demand dan harga gas sampai sekarang masih ditentukan banyak pihak, siapa Gas Aggregator masih nggak jelas,” tambah Kusdhianto. (Nelson Nafis)
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis
Eka