Hukum suatu bangsa memiliki karakteristik yang berbeda beda dengan hukum bangsa lainya. Banyak hal menyangkut hukum yang pembahasannya tidak mungkin hanya dibatasi dari dimensi hukum saja melainkan juga dengan dimensi moral, etika, yang menyangkut disiplin ilmu sosiologi. Werner Menski dalam penelitiannya di benua Asia dan Afrika menyimpulkan bahwa penegakan hukum di dua benua itu tidak bisa hanya mengandalkan hukum positif (State Law) dalam aliran hukum positifism seperti yang dianut oleh Indonesia, melainkan harus juga mempertimbangkan dimensi Socio Legal serta natural law yang berisi tentang moral, Etika, dan agama.
William J.Chambliss dan Robert B Seidman menemukan sebuah dalil “The Law of non Tranferability of Law” yang berarti bahwa hukum suatu bangsa tidak bisa dialihkan begitu saja kepada bangsa lain. Hal ini untuk menghindari suatu kesenjangan yang sangat dalam antara Das Sollen dengan Das seint, sebuah sistem hukum disuatu bangsa. Oleh sebab itu aliran hukum positivisme kerap ditentang dan tidak bisa murni diterapkan yang salah satu aliran adalah kembali kepada hukum kodrat atau hukum alam yang menggali dari nilai nilai luhur sebuah bangsa dalam aturan aturan hukum yang berlaku.
Aliran hukum kodrat atau hukum alam (natural law) sama tuanya dengan usia filsafat sebagai induk atau ibu dari segala ilmu . Kadang orang mengira bahwa aliran hukum kodrat hanya berkembang dibelahan negara barat, padahal jauh sebelum Thomas Aquinas menemukan aliran hukum kodrat, di belahan negara Timur, misalnya China (Tiongkok) dan India sudah berkembang terlebih dahulu aliran hukum kodrat. Filsafat Timur merupakan identitas yang diletakan pada pemikiran filosofi dikawasan timur. Yakni negara negara di wilayah benua Asia, yang diindentifikasi sebagai filsafat Timur seperti Tiongkok, India, Jepang yang mana pemikiran pemikiran dari timur tersebut telah ditemukan jauh sebelum Masehi yang digunakan sebagai wahana untuk mengatasi tantangan tantangan hidup sekaligus sebagai piranti untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat sebuah negara sesuai tradisi yang berkembang diwilayah wilayah tersebut. Pemikiran filosofi dari timur tidak terbatas pada pencapaian kebenaran itu sendiri, seperti untuk mencapai keselamatan dan juga pencapaian kebebasan abadi dari ikatan ikatan duniawi yang membelenggu dirinya (Widodo Dwi Putro, filsafat hukum, pergulatan filsafat Barat dan Timur, penerbit kencana).
Di Indonesia sendiri ada tiga Teory hukum asli Indonesia yang mewarnai perkembangan kajian dan praktek hukum di Indonesia, baik pemikiran, pembuatan, penerapan maupun dalam penegakanya. Tiga Teory hukum tersebut adalah TEORY HUKUM PEMBANGUNAN yang dipelopori oleh Prof Mochtar Kusumaatmadja, Teory Hukum Progresif yang dipelopori oleh Prof Satjipto Rahardjo, dan Teory hukum Integratif yang dipelopori oleh Prof Romly Atmasasmita. Teory hukum pembangunan dalam perkembangan nya dikritisi oleh Teory hukum progresif yang digagas oleh Prof Satjipto Rahardjo, dan Teory hukum Integratif yang Merekonstruksi Teory hukum pembangunan sekaligus Teory hukum Progresif. Hal ini membuktikan bahwa suatu Teory tersebut dibangun dan ditemukan berdasarkan Teory Teory yang sebelumnya. Teory hukum Pembangunan dari prof Mochtar Kusumaatmadja, dan Teory hukum Progresif dari Prof Satjipto, serta Teory hukum Integratif dari prof Romly.
Dari 3 teori hukum yang ada : Teori Hukum Pembangunan Prof.Mochtar yang berintikan norma, proses, dan lembaga ; Teori Hukum Progresif yang berintikan Bukan manusia buat hukum, melainkan hukum buat manusia ; dan Teori Hukum Integratif yg berbasis pada nilai-nilai Pancasila terutama terkait dgn prilaku birokrasi di Indonesia
Bahwa ketiga Teory hukum tersebut semuanya berpijak pada hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat dan berdasarkan nilai nilai yang primordial dari bangsa itu sendiri yakni nilai nilai yang terkandung dalam sila sila Pancasila, sebagai dasar negara, pandangan hidup dan falsafah bangsa (Volkgeist), akan tetapi tidak tepat jikalau ada pendapat yang menyatakan penggabungan dari ketiga Teory tersebut muncul sintesa baru berupa Teory hukum Pancasila, seperti yang pernah penulis baca pada sebuah jurnal.
Jika merefer ketentuan Pasal 2 UU No 12 /2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahhwa : “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”, tidak lah berarti Pancasila itu adalah Hukum. Lebih Tepatnya Pancasila yang merupakan kristalisasi nilai – nilai yang bersumber dari isi jiwa bangsa (volkgeist) harus dijadikan rujukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (terutama pembentukan UU). Artinya, substansi Undang Undang (apapun) yang akan dibentuk, harus merujuk nilai ke Tuhanan (cq. Hukum agama-agama yang diakui di Indonesia), nilai kemanusiaan (HAM), Nilai kebangsaan (kepentingan bangsa dan negara), nilai demokrasi), dan nilai keadilan. Seperti halnya UUD 1945. Roh yang ada dalam Pembukaan adalah dasar (falsafah) negara, yang terejawantahkan ke dalam rumusan norma-norma pasal yang ada dalam Batang Tubuh UUD 1945. Kalau UUD 1945 sebagai “supreme law of the land” saja seluruh normanya dijiwai oleh Pancasila sebagai dasar (falsafah) negara, maka pembentukan UU yang derajatnya lebih rendah dari UUD 1945 harus dijiwai pula oleh nilai/sila-sila Pancasila. Dengan kata lain pembentukan Undang Undangb akan dilandasi oleh landasan moral Pancasila bila merujuk pada Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara. Oleh karena Pancasila bukanlah hukum (sebagaimana dikatakan di atas), maka tidak tepat penyebutan “Teori Hukum Pancasila”
Berbicara tentang living law ( hukum yang hidup dalam masyarakat ) maka tidak bisa dipisahkan dengan perubahan global yang melahirkan aliran hukum Sociological Jurisprodence, yang merupakan ciri khas dari living law itu sendiri. Keadilan merupakan sasaran utama dari hukum maka penegakan hukum harus diarahkan antara lain untuk mencapai keadilan, baik sebagai individu maupun keadilan bagi masyarakat atau keadilan sosial, bukan hanya keadilan formal (Formal justice) melainkan juga keadilan subtansi (Subyancial justice) bahkan keadilan sosial (social justice) disinilah pentingnya penegak hukum dalam hal ini hakim untuk menengok dan memperhatikan betul apa yang disebut The living law sebagai salah satu sisi fakta sosial yang perlu dipertimbangkan untuk dijadikan pedoman memutus perkara yang memenuhi rasa keadilan masyarakat, ditengah kondisi penegakan hukum kita yang sangat memprihatinkan, dimana hukum dijadikan lahan bisnis berdasarkan keuntungan, yang tidak lagi berbasis keadilan masyarakat, yang jauh dari asas asas hukum, baik asasi keadilan, kemanfaatan maupun kepastian. The living law dapat dikatakan sebagai the social presure yang dapat dipertimbangkan oleh hakim di Indonesia dalam memutus suatu perkara.
Pengaruh Sociological Jurisprodence dalam proses penegakan hukum dalam kaitan nya dengan falsafah Pancasila, yang telah diuraikan diatas, khusus nya terhadap hakim di pengadilan pengadilan di Indonesia belum begitu nyata terlihat, padahal undang undang no 48 tahun 2009 sebagai pengganti Undang Undang no 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, namun faktanya hakim hakim kita masih terpaku pada aliran hukum positivisme yang tidak bisa lagi menjangkau dari pada perkembangan hukum secara global dan perkembangan masyarakat yang semakin dinamis, yang selalu menciptakan hukum yang kaku sebagai pelaksana Undang Undang dan bunyi dari teks Aturan perundangan saja. Semoga bisa menjadi bahan introspeksi diri untuk berani melakukan terobosan hukum untuk menerapkan Teory hukum yang ditemukan di Indonesia, baik Teory hukum progresif dari prof Tjip, Teory hukum pembangunan dari prof Mochtar, maupun Teory hukum Integratif dari prof Romli, sebagai bahan bijakan dan terobosan dalam memutus perkara. Jadi seorang juris bukan hanya petugas stempel bunyi pasal undang undang saja, tapi juga harus berani menciptakan frasa baru dalam aturan hukum demi tegak nya keadilan masyarakat sesuai cita cita proklamasi dan nilai nilai Pancasila. Tanggung jawab seorang hakim bukan hanya kepada atasan tapi kepada Tuhan Uang Maha Kuasa dan masyatakat sebagai abdi dalam keadilan (Yudikatif) yang mahkota nya terletak pada putusan yg dibuatnya, agar bisa terciptanya keadilan, bermahkota emas, ditengah carut marut nya kondisi Sistem peradilan di Negeri ini. Demi bangsa dan negara.
Oleh : Agus Widjajanto, Penulis adalah
Praktisi hukum, penulis , pemerhati sosial budaya, politik, sejarah, bangsa.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano