Jakarta, Aktual.com – Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika), Sya’roni, meyakini PDI Perjuangan tidak akan mendukung pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI Jakarta.
Terlebih, berbagai elemen masyarakat Jakarta semakin banyak menyampaikan penolakannya terhadap pencalonan kembali Ahok. Pokok penolakan Ahok juga datang dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP DKI Jakarta.
“Sebaiknya Megawati mempertimbangkan masa depan partai dalam menghadapi kompetisi politik di masa mendatang, baik dalam level Provinsi DKI Jakarta maupun dalam konstelasi nasional,” terang Sya’roni, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/8).
Humanika menyatakan demikian sejalan dengan klaim sepihak Ahok terhadap dukungan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Yakni dengan embel-embel dipasangkan dengan Djarot Saiful Hidayat yang saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Disampaikan, arus bawah PDIP Jakarta menunjukkan penolakan yang sangat besar terhadap Ahok. Dalam suatu acara internal DPD PDIP yang kemudian diunggah ke jejaring sosial Youtube misalnya, mereka secara terang-terangan menolak Ahok melalui sebuah lagu ‘Ahok Pasti Tumbang’.
Sebelum itu, DPD PDIP Jakarta memutuskan bergabung dengan Koalisi Kekeluargaan yang jelas-jelas menjadikan Ahok sebagai musuh bersama. Di sisi lain, DPP PDIP juga telah melakukan penjaringan dan telah mengerucut menjadi 6 kandidat calon.
Dalam penilaian Humanika, lanjut Sya’roni, pencalonan Ahok di level Jakarta akan dijadikan batu loncatan menuju Pemilihan Presiden 2019. Ahok diprediksi akan mendampingi Jokowi dalam hajat demokrasi lima tahun tersebut.
Langkah politik Jokowi belakangan bisa menjadi rujukan, bagaimana Jokowi terlihat sangat gigih melakukan komunikasi politik ke Megawati guna memuluskan langkah Ahok di DKI Jakarta. Dan, bila Jokowi-Ahok benar-benar berpasangan pada Pilpres 2019 bisa menuai kemenangan mengingat posisinya sebagai petahana.
“Posisi sebagai petahana sehingga leluasa melakukan manuver politik menjaring pemilih sebesar-besarnya. Dan pada Pilpres 2024, Ahok berpeluang maju sebagai Capres, karena menurut konstitusi, dimana jabatan presiden dibatasi hanya dua periode,” jelas Syaroni.
Di sisi lain, Jokowi karena sudah dua periode maka pada Pilpres 2024 tidak bisa mencalonkan diri kembali. Situasi inilah yang dijadikan peluang bagi Ahok untuk tampil sebagai calon presiden. Situasi demikian bisa akan berlanjut pada Pilpres 2029.
“Bila rangkaian cerita ini benar-benar terjadi, maka ini bisa dikatakan sebagai malapetaka bagi PDIP. Setidaknya Ahok akan menikmati kemenangan politik hingga 17 tahun yang akan datang,” katanya.
“Sebelum mimpi buruk itu terjadi, sebaiknya PDIP mengambil langkah politik antisipatif. PDIP jangan berani mengambil resiko membesarkan anak macan. Ongkos politiknya terlalu besar baik untuk PDIP maupun untuk kader-kader potensialnya,” sambung Syaroni.
Dalam Pilkada Jakarta, PDIP perlu mempertimbangkan agar tidak mengusung Ahok. Sebagai partai terbesar di Jakarta, PDIP bisa mengusung calon sendiri dan harus berani mengajukan calonnya sendiri untuk menjadi penantang petahana.
Apalagi banyak kader potensial PDIP yang layak diajukan menjadi lawan Ahok. Misalnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Walikota Surabaya Risma Trismaharini, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Syaiful Hidayat dan lain-lain.
Megawati perlu pula mempertimbangkan nama Rizal Ramli sebagai calon alternatif apabila kader PDIP tersebut tidak bersedia menjadi penantang Ahok. Mempunyai kans menang dan mempunyai garis perjuangan yang senafas dengan PDIP bisa menjadi pertimbangannya.
“Rizal Ramli adalah simbol kepedulian terhadap rakyat kecil. Dengan slogan membangun Jakarta tanpa air mata, Rizal Ramli aktif mendatangi kantong-kantong rakyat, terutama wilayah-wilayah yang menjadi korban penggusuran Ahok,” kata dia.
Penghentian proyek reklamasi Pulau G menjadi bukti lain bagaimana kepedulian Rizal dalam memperjuangkan kepentingan rakyat kecil.
Laporan: Soemitro
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby