Ilustrasi
Ilustrasi

Jakarta, aktual.com – Awal Desember 2019 muncul sebuah wabah baru di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China dengan gejala mirip flu dan pneumonia berat. Virus corona berjenis SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19 itu kini telah menginfeksi 64.430 orang dan menyebabkan kematian 1.383 jiwa per Jumat (14/2) pagi.

Sejak pertengahan Desember 2019, virus itu sudah go international tidak lagi terkungkung di daratan China dengan beberapa kasus infeksi dikonfirmasi di negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand bahkan sudah sampai ke Amerika Serikat.

COVID-19, nama resmi penyakit itu yang diberikan oleh World Health Organization (WHO), memiliki kesamaan dengan Severe acute respiratory syndrome (SARS) yang pertama kali muncul di China pada 2002 dan Middle East respiratory syndrome (MERS) yang pertama kali dilaporkan muncul di Arab Saudi pada 2012.

Baik COVID-19, SARS dan MERS sama-sama disebabkan oleh jenis virus corona yang bisa ditemukan di hewan-hewan dengan kelelawar teridentifikasi sebagai salah satu inang utama dari virus tersebut.

Namun demikian, dalam kasus COVID-19, SARS, dan MERS meski kelelawar teridentifikasi sebagai inang utama, hewan-hewan lain juga diduga menjadi inang perantara yang menginfeksi manusia.

Dalam kasus SARS, musang diduga menjadi perantara yang membuat virus corona dapat menginfeksi manusia, untuk MERS hewan unta diduga menjadi penyebab penyakit itu dapat menyerang yang melakukan kontak dengannya.

Sementara itu, untuk COVID-19 peneliti menyebut ular sebagai salah satu perantara untuk virus mematikan tersebut. Namun, awal Februari 2020 peneliti dari South China Agricultural University mengemukakan temuan baru bahwa trenggiling kemungkinan besar menjadi perantara virus tersebut.

Hal itu mereka simpulkan setelah mendapatkan temuan bahwa urutan genom virus corona dari trenggiling dalam penelitian 99 persen identik dengan yang diambil dari pasien yang terinfeksi.

Menurut mereka, dengan hasil seperti itu hewan yang terancam punah itu dapat berpotensi menjadi inang perantara yang memungkinkan infeksi terhadap manusia setelah mendapatkannya dari kelelawar sebagai inang utama.

Kemungkinan itu dikonfirmasi oleh peneliti mikrobiologi Sugiyono Saputra, yang mengatakan bahwa trenggiling yang di dalam tubuhnya juga memiliki virus corona sendiri dan virus lain bernama sendai bisa jadi menjadi perantaranya karena terjadi rekombinasi virus.

“Asumsinya bisa jadi memang ada rekombinasi antara virus yang dari kelelawar dengan yang ada di trenggiling itu yang terus mengalami mutasi sehingga akhirnya bisa menginfeksi manusia. Itu masih berupa kemungkinan-kemungkinan,” kata peneliti di Pusat Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.

Rekombinasi genetika merupakan proses pemutusan seunting bahan genetika yang diikuti dengan penggabungan dengan molekul lainnya, baik DNA maupun RNA.

Tapi untuk mengonfirmasi hipotesis tersebut masih perlu kelengkapan data bahwa pasien yang menjadi objek penelitian itu pernah memiliki riwayat kontak dengan trenggiling sebelumnya, kata Sugiyono.

Apapun inang perantaranya, baik ular, trenggiling dan kelelawar, semakin jelas bahwa zoonosis kini semakin sering terjadi dengan COVID-19 hanyalah yang terbaru dari rentetan mewabahnya penyakit yang menginfeksi manusia dari hewan.

Deforestasi dan infeksi

Kelelawar memang bisa disebut sebagai “sumber” dari banyak virus, meski tidak semuanya dapat menginfeksi manusia.

Bahkan, tim peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Research Center for Zoonosis Control (RCZC) Universitas Hokkaido di Jepang menemukan enam jenis virus pada kelelawar buah yang hidup di Indonesia yang memiliki potensi untuk menginfeksi manusia dalam penelitian yang dilakukan selama periode 2010-2015.

Prof Drh Agus Setiyono, ahli patologi dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang terlibat dalam penelitian tersebut, mengatakan timnya menemukan coronavirus, bufavirus, polyomavirus, alphaherpesvirus, paramyxovirus, dan gammaherpesvirus dalam sampel kelelawar buah yang diambil dari beberapa titik di Indonesia.

“Keenam virus itu berpotensi menimbulkan zoonosis. Jadi memang studi kami melakukan surveillance patogen atau agen penyebab yang bisa menularkan penyakit ke manusia. Dari enam itu semuanya berpotensi. Hanya kami juga belum tahu jika di manusia ekspresi atau bentuk penyakit seperti apa,” kata dia.

Agus dan timnya memulai penelitian dengan berkaca dari beberapa kasus zoonosis yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir seperti mewabahnya virus nipah di Malaysia pada 1998 dan virus hendra di Australia pada 1994.

Nipah menulari ke manusia yang melakukan kontak dengan babi, yang mendapatkan virus tersebut dari kelelawar. Sementara hendra berhasil menginfeksi manusia dari kuda, yang juga terinfeksi dari kelelawar buah.

Pertanyaannya, mengapa zoonosis semakin sering terjadi? Mulai dari ebola di Afrika, SARS dan COVID-19 di China dan MERS di Timur Tengah, semuanya disebabkan oleh infeksi dari hewan ke manusia.

Menurut Taufiq P. Nugraha, peneliti satwa liar Pusat Penelitian Biologi LIPI, deforestasi atau penebangan hutan dalam skala besar bisa menjadi salah satu faktor bertambahnya potensi wabah zoonosis.

“Deforestasi sebagai salah satu faktor, bisa dikatakan seperti itu. Salah satu faktor yang bisa menyebabkan penyakit itu. Logikanya dengan hutan terbuka, satwa liar yang tadinya di dalam tiba-tiba aksesnya ke manusia semakin dekat,” kata Taufiq.

Terbukanya hutan, katanya, membuat kawasan permukiman warga semakin dekat dan membuat tingkat kemungkinan kontak dengan hewan liar yang memiliki virus dengan manusia dan hewan peternakan atau peliharaan meningkat.

Hal itu perlu menjadi perhatian karena beberapa jenis hewan, seperti kelelawar, terbukti memiliki virus-virus yang berpotensi menginfeksi manusia seperti yang terjadi dalam beberapa kasus sebelumnya.

Tidak hanya itu, konsumsi hewan-hewan liar eksotis seperti trenggiling yang ditangkap di alam bebas dengan skala besar juga menambah potensi zoonosis, karena hewan-hewan liar tidak memiliki proses vaksinasi seperti yang diwajibkan dalam hewan ternak untuk tujuan konsumsi.

“Begitu ada komersialisasi besar-besaran yang tidak bijak seperti itu, potensinya kan semakin banyak dengan faktor risiko yang makin tinggi. Ada virus yang bermutasi, ada yang akhirnya ditaruh atau dijual di dekat ternak kita hingga terjadi penularan antar spesies,” kata Taufiq.

Oleh karena itu usaha konservasi perlu dilakukan untuk memastikan hewan-hewan tersebut masih memiliki habitatnya selain tentu saja untuk mengurangi dampak signifikan terhadap ekosistem jika hewan-hewan seperti kelelawar, yang memiliki peran untuk menyebarkan benih, hilang dari mata rantai makanan.

Artikel ini ditulis oleh:

Eko Priyanto