Jakarta, aktual.com – Kasus pagar laut di Tangerang, Banten yang membuka skandal terbitnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan laut yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), membuka tipu muslihat mafia tanah dengan BPN bukanlah isapan jempol.
Hal itu juga dirasakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Anti Corupption Society (IACS), Ardiyanto Hafidz dalam berhubungan dengan BPN (Kementerian ATR/BPN). Ardi menceritakan kasus yang melilitnya, yang sebenarnya sederhana dan sudah berkekuatan hukum tetap (inkrahct), namun karena adanya mafia di BPN kasusnya belum juga dieksekusi.
Ihwal masalah tersebut, pada Mei 2022, Indonesia AntiCorruption Society, telah menerima sepucuk surat disertai bukti-bukti pendukung lainnya dari Kantor Law Firm RM. Wahjoe A. Setiadi & Partners, sebagai Kuasa Hukum dari Moara Cs, yang telah memenangkan Perkara No. 523/Pdt.G/2001/PN.Jkt.Sel., juncto Perkara No. 245/Pdt/2003/PT.DKI., juncto Perkara No. 611 K/Pdt/2004, juncto Perkara No. 64 PK/Pdt/2007.
Kemudian, putusan Mahkamah Agung RI No. 64 PK/Pdt/2007, tanggal 3 Juli 2008, juncto Putusan No. 611 K/Pdt/2004, tanggal 25 Oktober 2005, juncto Putusan No. 245/Pdt/2003/PT.DKI., tanggal 11 September 2003, juncto Putusan No. 523/Pdt.G/2001/PN.Jak.Sel., tanggal 14 November 2002,
telah menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yang dimohonkan eksekusinya.
Dengan amar putusannya adalah sebagai berikut, Menolak eksepsi dari Tergugat I, II, III dan IV.
Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV terbukti
telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang merugikan Para Penggugat;
3. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV secara
tanggung-renteng untuk membayar ganti rugi atas tanah milik Para Penggugat dan Para Ahli Waris lainnya bagian Eks Eigendom Verponding No. 7267, terletak di Karet Kuningan, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, 20% dari seluas 132 Ha yakni 16 Ha, sebagaimana ditentukan dalam Surat Keputusan Ketua Badan Pertanahan Nasional No. 118-VI-1990, tanggal 18 Juni 1990., yaitu: Kerugian Materiil dengan perincian :
a. Untuk Para Penggugat kelompok Hj. MANI Binti TAPPA (46 orang) sebesar Rp 780.031.002.426,-
b. Untuk Para Penggugat kelompok H. DJABUN ahli waris H. M. TOHIR (20 orang) sebesar Rp 8.200.992.770,-
c. Untuk Para Pengugat kelompok TAURAN dkk (7 orang) sebesar Rp 171.798.821.548,-
Jumlah ganti rugi seluruhnya : Rp 960.030.816.744,- (sembilan ratus enam puluh milyard tiga puluh juta delapan ratus enam belas ribu tujuh ratus empat puluh empat rupiah)
Setelah perkara tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), jelas Ardi, H. Wahjoe A. Setiadi, sebagai kuasa hukum dari para Ahli Waris Moara, Cs. telah mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, atas Putusan No.523/Pdt.G/2003/2001, tanggal 14 November 2002, juncto Putusan No. 245/Pdt/2003/PT.DKI., tanggal 11 September 2003, juncto No.611 K/Pdt/2004, tanggal 25 Oktober 2003, juncto No. 64 PK/Pdt/2007, tanggal 3 Juli 2008, terhadap:
Pemerintah RI Cq Badan Pertanahan Nasional/BPN (termohon Eksekusi I), BPN Cq Kantor Wilayah Pertanahan DKI Jakarta (termohon Eksekusi II), BPN Cq Kantor Wilayah Pertanahan DKI Jakarta Cq Kantor Pertanahan Jakarta Selatan (termohon Eksekusi III), Kementerian Dalam Negeri Cq Gubernur DKI Jakarta (termohon Eksekusi IV).
“Seharusnya di kawasan tanah tersebut tidak diberikan SHGB dan atau SHM, tetapi nyatanya kini dikawasan 132 hektare tersebut kini berdiri Kedutaan Besar Malaysia, Rusia dan Gedung KPK serta banyak lagi. Siapa yang menerbitkan SHGB/SHM nya kalau bukan BPN?,” ungkap Ardi.
Terkait upaya ekseksusi tersebut, pihaknya telah melakukan berbagai upaya, termasuk audiensi dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Kementerian Keuangan, Ombudsman RI & Komnas HAM. Namun, ini juga belum menghasilkan titik terang.
Ardiyanto menegaskan bahwa, pemerintah harus melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan jangan menzalimi masyarakat. Pemerintah era sebelumnya hanya berjanji-janji saja, kini harapan baru ada di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Kami berharap Presiden Prabowo yang digambarkan sebagai Macan tidak hanya mengaum (omong) saja, kita berharap Presiden juga bertindak tegas. Begitupun BPN yang sudah membatalkan ratusan SHGB dan puluhan SHM di kawasan pagar laut Tangerang Banten, juga bersikap yang sama pada kasus kami,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















