Jakarta, Aktual.Com-Sejak Orde Baru, fungsi dan BPK RI dan BPKP secara faktual melakukan pemeriksaan keuangan negara, namun dalam kurun 4 tahun terakhir ini mengalami pendistorsian tugas pokok dan fungsinya. Dimulai dengan pelemahan BPK RI sebagai auditor keuangan negara. Bahkan, diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012. Putusan ini atas judicial review atau permohonan uji materiil UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 pasal 23E ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”.

“Artinya, bahwa KPK bukan hanya dapat bekerja bersama dengan BPKP dan BPK RI dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK. Itu untuk KPK lho,” ujar Junisab Akbar, Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) melalui peranglat seluler, Sabtu (24/9/2016).

Dia menambahkan Putusan MK itu tentu dijabarkan ke dalam aturan teknis keuangan negara oleh Menkeu agar bisa masuk dalam nomenklatur anggaran KPK dalam APBN.

“Itu saja seperti bisa dipahami karena kinerja lembaga adhock itu jauh berbeda dengan Kejaksaan. Uniknya justru keputusan hasil judicial review itu seperti dijadikan dalih kuat oleh Kejaksaan sehingga bangga menyebut mereka menggunakan kantor akuntan publik (KAP) dalam melakukan penghitungan kerugian negara saat menyidik tindak pidana korupsi,” kata Junisab.

Seperti halnya kata Junisab dalam penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan sewa mobil dinas dan operasional Bank Sumut yang dikataka memakai KAP, ini menjadi pertanyaan bagi publik.

“Kejaksaan seperti bereforia menggunakan pihak diluar BPK RI dan BPKP disaat KPK sendiri sudah tidak demikian. Anehnya, Kejati Sumut bersikap seperti ogah menyertakan kedua lembaga negara ini dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi,” ungkap dia.

Meski mengunakan KAP dalam memeriksa kerugian negara, lantas yang menjadi keheranan IAW apa sudah ada aturan teknis tentang bagaimana penyidikan Kejaksaan menggunakan jasa KAP.

“Kalau memang ada, mana aturannya sesuai perundang-undangan? Coba ditunjukkan ke publik. Karenanya, Pak Presiden harus mengetahui kinerja kejaksaan tersebut,” ujar Junisab.

Selain itu, sambung dia yang menjadi pertanyaan saat mengunakan KAP apa ada nomenklatur anggaran Kejaksaan dalam APBN untuk membayar pihak swasta itu.

“Mungkin Presiden harus melihat dengan teliti semua hal yang kami ungkap tersebut sebab kondisi itu akan masuk pada situasi ‘saling mempertentangkan’ fungsi antar lembaga negara dengan institusi pemerintah dan atau pertentangan antar institusi pemerintah,” ungkapnya.

Junisab menghimbau sebaiknya Kejatisu terbuka kenapa tidak mengunakan BPK RI dan BPKP saat penyidikan. Karena dengan menyewa KAP hal itu tidak lazim dalam tata kelola managemen penghitungan kerugian negara.

“Mereka tidak bisa menyepelekan keingintahuan seperti kami kemukakan di atas sebab yang dilakukan Kejatisu itu sangat tidak biasa,” tandas dia.

Sebelumnya, Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejatisu, Asep Mulyana saat ditemui usai Rapat Kerja Teknis Pidana Khusus di Kejaksaan Agung, 22 September 2016 , mengatakan bahwa pihaknya sudah menghitung kerugian negara dari kasus Bank Sumut, auditnya tanpa menggunakan BPK dan BPKP, melainkan dengan mengunakan KAP.

“Hasil audit sudah kita lakukan, pakai akuntan publik kita,” ungkap Asep ditemui usai penutupan Rakernis Pidsus di Kejagung, Jakarta, Kamis (22/9/2016).

Namun, dia tak menjelaskan alasan tidak menggunakan pihak BPK atau BPKP untuk mengaudit kasus yang ditaksir merugikan negara sebesar Rp 4,9 miliar dari total anggaran Rp18 miliar itu. Begitu juga nama KAP yang disewa untuk menghitung kerugian negara di kasus yang sudah menetapkan 5 tersangka tersebut.

Adapun 5 orang yang sudah berstatus tersangka dalam kasus ini adalah mantan Pemimpin Divisi Umum Bank Sumut, Irwan Pulungan, PPK Bank Sumut, Zulkarnain dan rekanannya yakni Direktur CV Surya Pratama, Haltatif. Sementata dua tersangka lainnya yakni Mantan Direktur Operasionaal Bank Sumut M Yahya dan Mantan Asisten III Divisi Umum M Jefri Sitindaon, berkas perkaranya sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Medan, Sumut.

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs