Ribuan siswa SMAN 5 Tasikmalaya melakukan shalat minta hujan (Istisqa) di lapangan Sekolah di Jalan Pentapel, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (16/10). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat menyatakan siaga darurat kekeringan melanda 671 desa dan 132 kecamatan di wilayah Provinsi Jabar. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/kye/15.

Jakarta, Aktual.com – Tidak sedikit dari umat muslim, lebih banyak memperhatikan sesuatu dari luarnya. Menilai kualitas orang dari kekayaan, pekerjaan, kecantikan, dan sebagainya. Tak terlepas dari itu, bahkan kita hanya melihat sisi luar ibadah yang selama ini kita dirikan, Salat, Zakat, Puasa, bahkan Haji telah tuntas kita kerjakan sesuai dengan tuntunan yang diajarkan agama melalui bab Fikih Ibadah.

Selama ini, kita telah menunaikan kewajiban sebagai muslim, yang kita anggap sebagai tabungan akhirat kelak. Mungkin dalam benak, kita akan bertanya-tanya: Seberapa beratkah timbangan amalan yang kita tabung? Berapa derajat pahalakah yang akan kita peroleh? Itulah pertanyaan umum yang sering kita khayalkan.

Berangan mendapat pahala yang layak atas amalan di dunia untuk akhirat kelak. Namun, ada satu hal penting yang sebenarnya kita lupakan, yaitu: diterimakah amalan kita selama ini? Atau justru malah saldo tabungan akhirat kita secuil, padahal sudah merasa melakukan banyak ibadah. Atau bahkan saldonya minus? Yaa lalkhosaaroh (rugi)!

Tersebut dalam sebuah hadist Nabi Saw di Arbain Nawawi hadist ke 4, riwayat Abdullah bin Mas’ud r.a.:”Dan sungguh seseorang dari kalian akan ada yang beramal hingga dirinya berada dekat dengan surga kecuali sejengkal saja lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan taqdir) hingga dia beramal dengan amalan penghuni neraka dan ada juga seseorang yang beramal hingga dirinya berada dekat dengan neraka kecuali sejengkal saja lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan taqdir) hingga dia beramal dengan amalan penghuni surga”.

Syeikh Usamah Al-Azhari dalam sebuah muhadoroh berkata: Poin penting yang tersirat dalam hadis ini yang sering terlupakan oleh banyak orang adalah, perbedaan antara amal perbuatan, dan apakah amal tersebut diterima atau tidak.

Dalam hadis disebutkan orang tersebut mengerjakan perbuatan ahli surga hingga saat usianya senja mendekati kematian, lalu ia mengerjakan amalan ahli neraka, dan masuk ke neraka. Apakah ia terzolimi? Sebenarnya amal perbuatannya selama itu tidak diterima. Karena ia tidak memperhatikan perbedaan antara amal yang sahih dan amal yang diterima.

Betapa sedikit orang yang memperhatikan “apakah amalnya diterima atau tidak”. Sebaliknya, kebanyakan hanya memperhatikan sahih tidaknya amal perbuatan. Lalu ia hanya mengerjakan amal salih, layaknya salat fardhu. Setelah itu ia lupa, apakah amalnya diterima Allah atau tidak.

Maka tidak mustahil seorang hamba beribadah seperti itu selama 40 sampai 50 tahun tanpa tau amalnya diterima atau tidak. Tidak mustahil pula, di akhir hayatnya, ia justru mengakhirinya dengan perbuatan ahli neraka yang terhina. Nauzubillah!

Dari sini, ternyata, perhatian kita terhadap syarat sebuah ibadah diterima atau tidak, jauh lebih penting ketimbang mengerjakan ibadah itu sendiri.

Yaitu, sebelum beramal salih, wajib hukumnya memperhatikan syarat diterimanya sebuah amal salih. Apa syarat diterimanya sebuah amal salih? Bilmitsal yattadhihul maqol! contoh Shalat.

Dalam sebuah hadis qudsi riwayat Ibn Abbas yang ditulis oleh Bazzar, Rasul bersabda: Allah berfirman: “Aku menerima salat hambaKu yang berendah diri karena kebesaranKu, yang tidak buruk perkataannya terhadap makhlukKu, tidak terbiasa berbuat maksiat/fasiq, menyempatkan waktunya untuk berzikir padaKu, dan menyayangi orang miskin, ibnu sabil, janda, dan orang yang mendapat musibah”

Artinya, salat yang tidak makbul bukan berarti Salatnya tidak sah. Karena, Salat seorang muslim bisa jadi Sahih sesuai hukum Fikih dengan memenuhi syarat sahnya Salat, namun Salatnya tidak makbul karena tidak memenuhi syarat diterimanya sebuah amal ibadah.

Salat seorang hamba yang hanya memperhatikan kesahihannya, tanpa peduli apakah salatnya sudah memenuhi syarat makbul atau tidak, maka ia akan sangat merugi. Tersebut dalam hadis qudsi di atas, syarat Salat yang makbul adalah “yang tidak buruk perkataannya”.

Artinya, selain mengerjakan Salat fardhu, ia juga memperhatikan bagaimana ia bermuamalah dengan orang lain. Menjaga lisan dan perbuatannya agar tidak menzolimi orang lain dengan melakukan hal-hal yang diharamkan seperti ghibah, mencela, hasad, mengadu domba dan sebagainya.

Tak hanya itu, ia juga harus mampu menjaga diri agar tidak terbiasa bermaksiat yang dapat menyebabkan Salatnya tidak diterima Allah. Hal-hal maksiat itulah yang menutupi terkabulnya do’a dan Salat seorang hamba.

Sehingga jika ada seorang hamba yang berbuat demikian, Salat dan beribadah selama puluhan tahun namun tetap bermaksiat kepada Allah atau menzolimi orang lain, maka saat ia mengira amalan ibadahnya telah terkumpul, ternyata yang ia dapatkan hanya timbangan kosong. Lantaran ibadahnya tidak diterima oleh Allah selama hidupnya kecuali hanya sedikit saja.

Semoga kita termasuk muslim yang tidak hanya memperhatikan ibadah dari segi kesahihannya saja, namun juga memperhatikan segi diterima atau tidaknya ibadah itu oleh Allah. Sehingga waktu dan usia yang kita habiskan selama puluhan tahun tidak akan terbuang sia-sia.

Penulis: Mohammad Hendri Alfaruq

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid