Aktivitas proyek reklamasi di teluk Jakarta, Kamis (14/4). Dalam rapat kerja yang berlangsung Rabu (13/4), Komisi IV DPR dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sepakat agar proyek reklamasi Teluk Jakarta dihentikan. ANTARA FOTO/Agus Suparto/pras/ama/16.

Jakarta, Aktual.com – Peneliti Indonesian Centre Enviromental Lawyer (ICEL) Rayhan Dudayev, berharap terbentuknya tim komite reklamasi, jangan dijadikan peralihan tanggung jawab pemerintah pusat ke tim komite.

“Jangan sampai tim komite ini sebagai kambing hitam dari sikap pemerintah,” ucapnya kepada Aktual.com di Sekretariat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/4).

“Ditakutkan nanti pemerintah lepas tanga nih, ‘Oh udah kok menurut komite sudah beres, ya kita (pemerintah) tinggal menjalankan rekomendasi komite saja,’. Padahal, yang punya kewenangan ya tetep pemerintah,” sambung Rayhan.

Rayhan menambahkan, tim komite itu haruslah mewakili seluruh pihak yang terkait. Dengan begitu, reklamasi dapat dikaji dari seluruh aspek, sehingga kebijakan yang nantinya diambil, diharapkan menjadi keputusan yang bijak tidak mengorbankan masyarakat luas, khususnya nelayan sebagai masyarakat terdampak.

“Itu mengenai unsur. Terus proses juga harus transparan, harus bisa dilihat tiap prosesnya ngapain saja (tim komite). Bilang mau kajian lingkungan, itu seperti apa kajiannya? Itu harus jelas,” tambah dia.

Lanjut Rayhan, tim komite juga harus menghitung kerugian akibat reklamasi baik dari segi ekonomi, lingkungan dan sosial. Dan itu, sambung Rayhan, mesti dilakukan saat moratorium.

“Harus dihitung biaya pemulihan kerusakan dari awal keadaanya pembangunan reklamasi, apakah biaya lingkungan dan sosial bisa lebih besar dari biaya reklamasi,” tambah dia.

Segi kebijakan sendiri, lanjut Rayhan, masih terjadi tumpang tindih kewenangan yang harus dibenahi misalnya, Perpres No.122 tahun 2008 tentang siapa yang berhak melakukan reklamasi, kemudian Perpres No.1 tahun 2014 terkait izin penambangan pasir sebanyak 330 juta meter kubik adalah kewenangan dan hak siapa.

“Kami juga meminta agar pemerintah mengkaji kembali kebijakan yang tumpang tindih, misalnya Perpres No.1 tahun 2014 didalamnya izin penambangan pasir tidak disebutkan siapa, sebanyak 330 juta meter kubik pasir tersebut belum dipastikan siapa yang berhak,” ungkapanya.

Dalam masa moratorium, Rayhan juga mengharapkan kepada kepada pemerintah untuk tidak sekedar mengambil langkah politik, namun juga langkah hukum, dimana dalam proyek reklamasi, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dinilai sering menabrak aturan hukum yang berlaku.

“Soal pencabutan izin, Gubernur sering bertanya bagaimana pencabutan izinnya. Dalam UU No. 30 Tahun 2014 jelas siapa yang mengeluarkan izin , dia berhak mencabut keputusan dan izin tersebut dengan berbagai pertimbangan dari kajian-kajian terkait,” pungkasnya.

Seperti diketahui, tim komite reklamasi lahir dari hasil pertemuan antara tiga kementerian yakni Kemenko Maritim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, plus Pemprov DKI Jakarta pada Senin (18/4).

Selain melahirkan tim komite, pertemuan itu juga melahirkan moratorium untuk menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Artikel ini ditulis oleh: