Jakarta, Aktual.co — Pengamat Ekonomi Politik Ichsannudin Noorsy mengatakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus mengaudit secara detail pertamina hingga ke anak perusahaan.

“Siapa yang pernah mengaudit secara detail pertamina, kalau BPK pernah mngaudit apakah BPK pernah mengaudit ke anak perusahaannya, BPK cuma masuk di induk,” ujar Noorsy di Jakarta, Rabu (15/4).

Soal kerugian pertamina, menurutnya, rata-rata yang mengalami kerugian pasti karena kurs atau rupiah jatuh. Semua perusahaan atau semua korporasi yang punya ketergantungan pada import pasti memiliki selisih kurs.

“Rugi karena selisih kurs pasti kejadian,” kata Noorsy

Kerugian bisa saja karena selisih kurs. Kedua memanfaatkan losses yang besar-besaran sehingga merugi.

“Ketiga kenapa sih pertamina enggan mengeluarkan perhitungan biaya  produksi yang sampai kilang aja impor, dari jaman dulu sampai sekarang nggak pernah keluar itu sudah belasan tahun,” jelasnya.

Noorsy juga mempertanyakan pertamina dalam perhitungan biaya ekspor-impor.

“Apa sih persoalannya pertamina, kenapa nggak jawab dengan struktural, kenapa nggak pake FOB,  bagaimana transaksinya, kenapa sebagai pembeli tidak bisa tentukan harga jangka panjang, jadi jelas posisi tawarnya. Terus kalau kita harus masukin kilang itu bagaimana? Kan dia juga punya selisih pada kurs ketika produksi di hulu karena mengekspor juga, kenapa dia bicara selisih kurang pada kurs karena mengimport ?,” tegasnya

Sementara itu, lanjut dia, perlu ada lagi BUMN seperti pertamina sebagai pembanding. Supaya pertamina bisa lihat perbedaan yang bisa di jadikan tolak ukur perbaikan.

“Penting membentuk BUMN sekelas pertamina lagi, Supaya pertamina tahu dia punya pembanding, jadi harus ada rival BUMN. Jadi banyak hal yang di perbaiki pertamina,” pungkasnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi VI DPR RI Hafisz Tohir mempertanyakan Pertamina mengalami USD700 juta target yang tercecer sampai bulan Maret dengan kerugian USD212 juta hingga bulan Februari 2015. Menurutnya, pertamina akan merugi USD1 miliar (Rp13 Triliun kurs Rp13.000) hingga akhir tahun jika tidak merubah perhitungan dengan cara yang efisien.

“Ada kerugian USD212 juta. Kalau kita hitung target keuntungan Pertamina per bulan Maret itu USD500 juta. Artinya ada target yang terececer USD700 juta,” ujar Ketua Komisi VI Hafisz Tohir di Jakarta.

Menurutnya, Pertamina telah merugi USD712 juta berdasarkan perhitungan kerugian dari laba bersih USD210 juta ditambah dengan target yang tidak tercapai USD502 juta.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka