Jakarta, Aktual.com – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengapresiasi rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, menyusul terbitnya Surat Presiden Nomor R-25/Pres/06/2017 tentang Penunjukan Wakil untuk membahas RUU itu.
Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, menilai terbitnya surat itu sebagai momentum penting untuk menghadirkan sebuah Undang-Undang khusus bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia.
Dia mengatakan pihaknya berharap akan ada pembahasan yang berkualitas untuk isu-isu krusial dalam UU ini, yaitu tentang penguatan pengaturan hak-hak korban kekerasan seksual, koordinasi antar lembaga pemerintah, aspek kriminalisasi perbuatan termasuk pemidanaan.
“Kami mengapresiasi kecepatan respons pemerintah dan DPR untuk segera membahas RUU ini. Ini merupakan perkembangan yang signifikan karena sebelumnya RUU ini gagal masuk ke dalam Prolegnas setelah diupayakan oleh Komnas Perempuan dan berbagai kelompok masyarakat pada 2015,” kata Supriyadi dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Sabtu (10/6) malam.
Dia mengatakan salah satu isu krusial adalah soal penanganan hak korban.
Dalam hal ini DPR dan Pemerintah harus bekerja keras untuk menghadirkan UU yang komprehensif mengatur tentang Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan Korban, karena selama ini tidak ada UU yang menjadi dasar penanganan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual.
Ketentuan tersebut hanya diatur dalam sebaran UU Sektoral seperti UU Perlindungan Anak, UU Penghapus Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Tindak Pidana Perdagangan orang dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
“Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan korban yang diatur dalam UU tersebut hanya menjangkau korban-korban seksual tertentu seperti hanya sebatas pada korban anak, korban kekerasan dalam rumah tangga dan korban eksploitasi seksual dalam konteks tindak pidana perdagangan orang. Ketiadaan pengaturan hak korban yang komprehensif ini selama ini berdampak merugikan korban,” kata dia.
ICJR mengatakan ketiadaan pendampingan pada korban tak jarang justru menimbulkan korban jiwa.
Supriyadi mengatakan paling tidak telah terjadi kasus bunuh diri masing-masing pada Mei 2016 di Medan dan Maret 2007 di Kabupaten Bandung yang dilakukan oleh dua remaja korban perkosaan.
“Korban bunuh diri karena tidak kuat menghadapi kasus yang dialaminya. Hal ini jelas menunjukkan pentingnya pendampingan psikologis dan penguatan hak korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Saat ini layanan bagi korban kekerasan seksual cenderung minim,” kata dia.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: