Tangkapan layar - Presiden Prabowo Subianto saat memimpin rapat terbatas secara virtual bersama anggota Kabinet Merah Putih dari Hambalang, Jawa Barat, Minggu (3/8/2025, terkait pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). (ANTARA/HO-Sekretariat Kabinet)

Jakarta, aktual.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi menyatakan persetujuannya terhadap permohonan Presiden Prabowo Subianto terkait pemberian amnesti kepada Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristiyanto, serta abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, pada Kamis (31/7) lalu.

Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, dalam keterangannya menjelaskan bahwa amnesti yang diberikan kepada Hasto merupakan bagian dari program pemberian amnesti secara massal terhadap sekitar 44 ribu narapidana dan tahanan lainnya.

Menurutnya, program ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan atau overcrowding di Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan yang kini menjadi masalah serius dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Dari hasil verifikasi yang dilakukan terhadap para calon penerima, hanya 1.178 orang yang dianggap memenuhi kriteria dan layak diajukan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang Pemberian Amnesti.

Menanggapi hal tersebut, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mempertanyakan kejelasan dasar hukum dan proses yang melatarbelakangi pemberian amnesti dan abolisi tersebut.

Peneliti ICJR, Ove Syaifudin, dalam keterangannya pada Selasa (5/8), menegaskan pentingnya transparansi dalam menjelaskan alasan yang mendasari pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong.

“Tanpa adanya alasan yang jelas, keputusan ini bisa dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap proses penegakan hukum yang seharusnya berjalan independen dan bebas dari kepentingan politik,” katanya.

Ove juga menilai bahwa hingga kini belum ada kebijakan umum yang terbuka terkait proses dan kriteria pemberian amnesti tersebut.

“Tidak ada kebijakan umum yang terbuka yang menjelaskan apa saja kriteria pemberian, dan bagaimana proses verifikasi dilakukan. Hal tersebut hanya dinarasikan oleh aktor pemerintah, tidak ada kebakuan aturan yang jelas,” katanya. Ia menyayangkan keputusan ini karena dapat membuka ruang spekulasi publik bahwa kebijakan tersebut digunakan secara selektif.

Merujuk pada pernyataan Menteri Hukum, Ove menjelaskan bahwa kriteria pemberian amnesti seharusnya hanya berlaku bagi beberapa jenis kasus tertentu seperti penghinaan kepada kepala negara, warga binaan dengan penyakit kronis atau gangguan jiwa, kasus makar tanpa senjata di Papua, serta pengguna narkotika yang seharusnya direhabilitasi.

Karena itu, ia menekankan bahwa kasus Hasto Kristiyanto yang terkait dengan tindak pidana korupsi tidak termasuk dalam kategori yang disebutkan.

“Dalam kasus pemberian amnesti kepada Hasto yang terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi tidak termasuk dalam kategori sebagaimana telah direncanakan pemberian program amnesti sebelumnya, sehingga pemberiannya patut untuk dipertanyakan,” ucapnya.

ICJR juga mengingatkan agar pemerintah tetap mengedepankan tujuan utama dari pemberian amnesti massal, yaitu untuk mengatasi overcrowding. Ove menyebut bahwa kebijakan ini justru bisa menjadi langkah yang tidak jelas arahnya dan rentan dipolitisasi.

“Oleh karena itu, kembali pada tujuan pemberian amnesti massal untuk mengatasi overcrowding, ICJR menekankan kebijakan seperti ini dikhawatirkan akan menjadi langkah tidak jelas, dan rentan politisasi, tanpa menyentuh akar persoalan hukum di Indonesia. Bagaimana bisa seluruh permasalahan kebijakan hukum yang ada musti hanya dapat diselesaikan dengan pemberian amnesti dan abolisi semata,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain