Jakarta, aktual.com — Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, melontarkan kritik tajam terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dalam diskusi publik “Membedah Pasal Krusial di RKUHAP” yang digelar oleh aktual forum, Sabtu (2/8).
Dalam paparannya, Iftitah mengungkapkan bahwa penyusunan RKUHAP diwarnai dengan proses yang minim partisipasi dan terlalu eksklusif. Ia menyoroti keberadaan Tim 12 yang terdiri dari Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian, sebagai forum utama penyelesaian substansi RKUHAP di tingkat pemerintah.
“RKUHAP Pemerintah membuat tim 12 yang isinya MA, Jaksa sama polisi. Yang itu di dalam situ adalah permufakatan baiknya diselesaikan dengan bagaimana nah, itu disitu ruang negosiasinya. Dan akhirnya selesai di Pemerintah, karena ada forum 12 itu,” ujar Iftitah.
Namun, ia menegaskan bahwa proses tersebut menutup ruang bagi aktor lain yang seharusnya juga memiliki peran penting dalam pembentukan hukum acara pidana.
“Tapi satu hal yang jadi kritik ini, RKUHAP ini menjadi eksklusif cuman diranah di tiga lembaga itu. Padahal banyak stakeholder yang lain,” tambahnya. Ia menyayangkan bahwa penyusunan RKUHAP berlangsung dalam “ruang gelap” yang tidak transparan dan minim akuntabilitas. “Di ruang gelap itu, kita ga tau niatan mereka seperti apa, apa yang diniatkan oleh mereka. Jadi kami melihat ini hanya bagi-bagi kekuasaan,” ucapnya.
Salah satu pasal yang menjadi sorotan ICJR adalah mengenai penerapan Restorative Justice (RJ) dalam perkara korporasi. Menurut Iftitah, dalam draf RKUHAP terdapat pengaturan yang memperluas penerapan RJ tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk entitas korporasi.
“Di dalam kepolisian ada yang namanya RJ untuk korporasi (Restorative Justice), ini kita baru tau di pasal soal koorporasi ada di pasal ini. Metode ini bukan hanya untuk individu, tapi juga untuk koorporasi. Nah bahanya yaitu ya akan ada transaksional,” jelasnya.
Ia memperingatkan bahwa perluasan RJ ini rawan menimbulkan konflik kepentingan karena semua proses dan mekanisme berada dalam kontrol aparat penegak hukum (APH), tanpa pengawasan independen maupun jaminan keadilan bagi korban.
“Jadi RJ ini sangat ada conflict of interest sekali karena yang jadi aktor utamanya adalah APH, yang membuat mekanismenya adalah juga APH. Tidak ada kejelasan untuk pemulihan korban, masalah ganti rugi juga tidak jelas,” kata Iftitah.
Dengan nada tegas, ia menyimpulkan bahwa muatan RKUHAP berpotensi melegitimasi praktik hukum yang transaksional dan tidak akuntabel.
“Jadi ini semua hanya tentang uang, uang, uang saja jadi transaksional aja. Jadi apa yang kita kritik ini tidak ada kontrol, tidak akuntabel, terlalu transaksional dilegitimasilah sama RKUHAP ini,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















