Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter (kanan) dan Kurnia Ramadhana (kiri) memaparkan kajian dan hasil pemantauan data vonis tindak pidana korupsi (tipikor) mulai tingkat Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi, hingga tahap kasasi dan PK di Mahkamah Agung, di Jakarta, Sabtu (23/7). Hasil pemantauan perkara korupsi yang ditangani pengadilan pada semester pertama 2016 rata-rata vonis terdakwa korupsi hanya dua tahun satu bulan penjara, hal tersebut dianggap menguntungkan koruptor, kecenderungan atau tren hukuman dan tuntutan untuk pelaku korupsi semakin ringan dan mengurangi efek jera kepada koruptor. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/16

Jakarta, Aktual.com – ICW meminta agar pemerintah harus segera mengusulkan perubahan Undang-undang Tipikor yang telah usang dan memiliki celah hukum serta mengatur ulang konstruksi pasal 2 dan 3 UU Tipikor.

hal tersebut disampaikan Peneliti Divisi Hukum Dan Monitoring Peradilan ICW Aradila Caesar, Sabtu (4/3).

“Pemerintah harus mengubah konsep minimum khusus dalam UU Tipikor karena justru dalam praktiknya melahirkan banyak persoalan seperti disparitas, ketidakadilan dan vonis ringan. Hukuman dalam UU Tipikor harus dapat mereduksi diskresi hakim yang terlalu luas dalam menjatuhkan hukuman,” ujarnya.

Pemerintah pun harus memastikan tindak pidana lain (Illicit Enrichment/trading in influence) dalam UNCAC yang belum masuk ke dalam UU Tipikor diadopsi oleh hukum nasional.

“Pemerintah perlu mengawasi secara penuh serta mendorong Kejaksaan Agung lebih progresif dalam menjerat perkara korupsi. Persoalan vonis ringan perkara korupsi harus dilihat lebih serius oleh berbagai ‘stake holder’, baik MA, Kejaksaan, KPK, Kepolisian, Pemerintah.

Pemangku kepentingan harus duduk bersama dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses ajudikasi perkara korupsi. Hal ini penting agar pengadilan tipikor yang dibentuk khusus tidak kehilangan arah dan tujuan pembentukannya,” ungkap Aradila.[Ant]

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Andy Abdul Hamid