“Dengan kata lain, tindakan Polda Maluku tidak lagi sesuai sebagaimana mestinya dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Aparat penegak hukum di Polda Maluku tidak boleh menyelidiki suatu perkara tanpa adanya temuan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Polisi tidak berwenang menentukan ada tidaknya kerugian keuangan negara. Karena itu merupakan kewenangan BPK,” tegasnya.

Karena itu, tindakan penyitaan dokumen, penggeledahan serta berbagai tindakan “polisionil” lainnya dalam sebuah kegiatan ”penyelidikan” Ditreskrimsus Polda Maluku, semisal di Sekretariat Pemerintah Daerah Buru tidak tepat dan berpotensi melawan hukum. Terlebih tindakan tersebut dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri/Tipikor di Ambon.

Menanggapi tindakan Polda Maluku itu, Almas mengatakan, pada dasarnya Kepolisian RI (Polri) memang harus independen. “Kalau soal independen ya harus independen. Sama seperti pihak yang lainnya, militer, birokrat, dan lain-lain,” kata Almas ketika dihubungi.

Calon kepala daerah yang terjerat kasus korupsi selama ini, kata Almas, seringkali menanggung sendiri kesalahan itu. Padahal, partai pengusungnya juga semestinya ikut bertanggung jawab. Sudah banyak contoh ketika kader partai terlibat korupsi, partai politik langsung berkelit dan lepas tanggung jawab.

“Jika partai tidak dibenahi, maka masalah korupsi calon kepala daerah akan terus berulang. Bahkan, dalam dua bulan terakhir telah ada delapan calon kepala daerah yang tertangkap karena kasus korupsi. Dan empat di antaranya merupakan calon petahana yang masih aktif,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang