Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar memaparkan kajian dan hasil pemantauan data vonis tindak pidana korupsi (tipikor) mulai tingkat Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi, hingga tahap kasasi dan PK di Mahkamah Agung, di Jakarta, Sabtu (23/7). Hasil pemantauan perkara korupsi yang ditangani pengadilan pada semester pertama 2016 rata-rata vonis terdakwa korupsi hanya dua tahun satu bulan penjara, hal tersebut dianggap menguntungkan koruptor, kecenderungan atau tren hukuman dan tuntutan untuk pelaku korupsi semakin ringan dan mengurangi efek jera kepada koruptor. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/16

Jakarta, Aktual.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa inovasi penuntutan dan penghukuman kasus tindak pidana korupsi (tipikor) masih minim sepanjang 2016.

“Dalam pantauan ICW pada 2016, sangat sedikit ditemukan upaya pencabutan hak politik terdakwa kasus korupsi. Hal ini terbukti dari 573 putusan kasus korupsi hanya ada tujuh putusan yang memvonis terdakwa dengan pidana tambahan, yakni pencabutan hak politik,” kata peneliti Divisi Hukum Dan Monitoring Peradilan ICW Aradila Caesar di Jakarta, Sabtu (4/3).

“Jumlah tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah terdakwa sepanjang 2016,” tambah dia.

Pada 2016, ICW telah melakukan pemantauan terhadap 573 putusan perkara korupsi di pengadilan Tingkat I (420 Putusan), Pengadilan Tingkat Banding (121 Putusan) dan Mahkamah Agung (32 Putusan).

“Dari 573 perkara korupsi yang berhasil terpantau, nilai kerugian negara yang timbul adalah Rp3,085 triliun, suap sejumlah Rp2,605 miliar, 212.000 dolar AS dan 128.700 dolar Singapura. Jumlah denda Rp60,665 miliar dan jumlah uang pengganti sebesar Rp720,3 miliar,” kata Ardila.

Sedangkan vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi selama 2016 juga masih ringan yaitu rata-rata 2 tahun 2 bulan penjara dari pengadilan tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi.

“Sering tuntutan jaksa yang ingin menghukum terdakwa dengan pidana pencabutan hak politik ditolak oleh hakim. Sebagai contoh kasus dari terdakwa kasus suap pembahasan raperda reklamasi, Muhammad Sanusi dan kasus suap proyek infrastruktur, Damayanti Wisnu Putranti; saat itu jaksa menuntut agar hakim mencabut hak politik keduanya, namun saat pembacaan putusan, hakim justru menolak tuntutan jaksa dengan berbagai alasan,” ungkap Aradila.

Padahal, pencabutan hak politik menjadi hukuman penting, mengingat pelaku korupsi sering berasal dari wilayah politik dan cenderung ketika selesai menjalani hukuman penjara masih bisa mencalonkan kembali menjadi kepala daerah atau anggota legislatif.

“Jika hukuman ini diterapkan maka kesempatan terpidana kasus korupsi mengikuti proses pemilu akan semakin tertutup. Hakim harus menyadari bahwa memberikan efek jera kepada pelaku korupsi tak cukup hanya mengandalkan pidana penjara, denda, maupun uang pengganti,” tegas Aradila.[Ant]

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Andy Abdul Hamid