Dia menegaskan bahwa kegagalan pembangunan industrialisasi menandakan masih berlangsungnya proyek penjajahan (neo-kolonialisme) di Indonesia.
“Sejarah memperlihatkan bahwa proyek kolonialisme selalu berusaha memblokir upaya membangkitkan industri di dalam negeri. Pembangunan infrastruktur di negara jajahan, harus menunjang kepentingan ekonomi negara-negara imperialis dan harus dimiliki oleh mereka. Hal ini menjadi kenyataan dimana proyek-proyek infrastruktur
yang telah diresmikan oleh Jokowi telah direncanakan untuk dijual kepihak asing/swasta. Lalu dimana untungnya republik ini?,” cecar dia.
Oleh karena itu, kata Firman, jika pemerintah serius hendak membangun ekonomi nasional, maka proyek-proyek infrastruktur harus diletakan sebagai prasarana untuk membangun industrialisasi nasional. Bukan karpet merah bagi negara-negara imperialis.
Kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah harus berupaya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan membangkitkan produksi rakyat untuk mengurangi ketergantungan pada pihak asing. Bukan sebaliknya, menekan rakyat dengan pajak, melakukan pemalakan
terhadap rakyat dengan merevisi undang-undang penerimaan negara bukan
pajak.
“Tak ada yang menolak bahwa Indoensia sangat tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain soal infrastruktur. Hasil survei berbagai lembaga survei menyatakan masyarakat puas/setuju dengan proyek Infrastruktur Jokowi. Pun dengan Indonesia Development Monitoring (IDM). Akan tetapi proyek-proyek infrastruktur ini akan sia-sia jika tidak diabadikan untuk membangun industri nasional. Bangsa ini harus memiliki cetak biru pembangunan industri nasional
sebagai jembatan bagi kemakmuran rakyat. Bukan infrastruktur ugal-ugalan model Jokowi ini,” pungkas dia.
Laporan: Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Andy Abdul Hamid