Jakarta, Aktual.com – Menteri Sosial Idrus Marham, memilih irit bicara seusai menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka Fayakhun Andriadi dalam kasus suap pembahasan anggaran Bakamla RI di DPR RI.
“Jadi, hari ini saya sengaja datang sendiri, ya, meskipun belum ada panggilan dalam rangka untuk memberikan konfirmasi dalam posisi saya sebagai Sekjen dahulu terkait dengan kasus Bakamla itu saja,” kata Idrus di Gedung KPK, Jakarta, Senin (21/5).
KPK membutuhkan keterangan Idrus untuk mengklarifikasi informasi aliran dana dalam pembahasan anggaran Bakamla RI di DPR.
Saat dikonfirmasi soal aliran dana itu, Idrus juga enggan berkomentar lebih lanjut.
“Ya, sudah tanya saja di sana nanti. Pokoknya sudah saya berikan konfirmasi,” ucap politikus Partai Golkar itu.
Nama Idrus mencuat dalam kasus Fayakhun karena disebut oleh politikus Partai Golkar lainnya, yaitu Yorrys Raweyai seusai menjalani pemeriksaan juga sebagai saksi untuk tersangka Fayakhun.
Saat itu, Yorrys mengaku dikonfirmasi oleh KPK soal pemberian uang sebesar Rp1 miliar dari anggota DPR RI 2014 s.d. 2019 dari Fraksi Golkar Fayakhun Andriadi.
“Dari laporan Fayakhun dalam pemeriksaannya bahwa dia ada memberikan uang kepada beberapa orang di antaranya saya. Dalam rangka apa tentunya, dia katakan dalam rangka proses dia untuk menjadi Ketua Golkar DKI pada bulan April (2017) yang lalu tetapi kejanggalannya bahwa uang itu diserahkan kepada saya pada bulan Juni. Ini ‘kan tidak masuk logika,” kata Yorrys seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (14/5).
Menurut dia, KPK berdasarkan keterangan Fayakhun bahwa ada beberapa nama juga yang diduga turut menerima uang untuk dukungan pencalonan Fayakhun tersebut.
“Jadi, KPK cuma mengatakan bahwa ada beberapa nama yang disebutkan, seperti Pak Idrus, kemudian ada Pak Freddy tetapi memang menurut tadi penyidik bagus karena ini disebut, dia hanya mau untuk konfirmasi karena takutnya kalau sampai di persidangan ‘kan nanti jadi persoalan baru ‘kan,” kata dia.
Idrus pun enggan menanggapinya lebih lanjut saat dikonfirmasi awak media soal uang aliran dari Fayakhun itu.
“Ya, Allah, ya, sudahlah. Saya katakan ‘kan saya sudah bilang tadi substansinya di sana tetapi saya sudah jelaskan semua, ya,” kata Idrus.
Ia pun mengaku memang dikonfirmasi penyidik soal tuduhan tersebut.
“Ya, konfirmasi apa yang dituduhkan itu ‘kan sudah saya jelaskan,” ungkap Idrus.
KPK telah menetapkan Fayakhun Andriadi sebagai tersangka dalam kasus tersebut pada tanggal 14 Februari 2018.
Fayakhun anggota DPR RI 2014 s.d. 2019 dari Fraksi Partai Golkar diduga menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa dia atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan proses pembahasan dan pengesahan RKAKL dalam APBN Tahun 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla RI.
Fayakhun disangkakan menerima uang senilai Rp12 miliar dan 300.000 dolar AS ketika masih menjabat sebagai anggota Komisi I DPR. Saat ini, dia sudah tidak lagi berada di komisi tersebut, tetapi duduk di Komisi III yang bermitra dengan KPK.
Fayakhun diduga menerima “fee” atau imbalan atas jasa memuluskan anggaran pengadaan satelit monitoring di Bakamla pada APBN tahun anggaran 2016 sebesar 1 persen dari total anggaran Bakamla senilai Rp1,2 triliun atau senilai Rp12 miliar dari tersangka Fahmi Darmawansyah melalui anak buahnya M Adami Okta secara bertahap sebanyak empat kali.
Selain itu, Fayakhun juga diduga menerima uang sejumlah 300 ribu dolar AS.
Fayakhun disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: