Jakarta, Aktual.com — Kondisi lebih mengkhawatirkan lagi dengan kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengikuti US-ASEAN Summit guna membahas Trans Pacific Partnership (TPP) terkait sepak terjang PT Freeport Indonesia.
Bukan apa-apa, selama ini Freeport menjadi ‘anak emas’. Dengan mendapat segala kemudahan dalam eksplorasi tambang emasnya. Belum lama ini, pemerintah malah mengizinkan ekspor konsentrat, padahal sebelumnya izin itu dicabut, karena Freeport tidak memberikan uang jaminan membengun smelter.
“Keterlibatan Indonesia di TPP pasti akan menguntungkan negara maju seperti Amerika Serikat. Apalagi perusahaan AS banyak di sini, salah satunya Freeport,” ujar Koordinator Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti di Jakarta, Senin (15/2).
Dengan posisi Indonesia di TPP, AS berkepentingan agar seluruh perusahaannya di Indonesia tetap diamankan. Termasuk soal ketentuan penggunaan kandungan lokal (local content) sebesar 30 persen untuk perusahaan tambang dan mineral dalam melakukan proses produksinya.
“Itu kewajiban UU Minerba. Tapi Freeport tidak pernah mengindahkan. Sehingga, jika jadi gabung TPP, Freeport akan lebih banyak lagi dapat keistimewaan. Karena TPP enggan adanya persyaratan kandungan lokal,” ujar dia.
Dia menjelaskan, salam salah satu kausul TPP disebutkan, intinya, tidak boleh ada salah satu syarat pun untuk menghalangi investasi atau proses perizinan penanaman modal terkait dengan kandungan lokal dalam persentasi tertentu.
“Jadi mau 5-10 persen, apalagi 30 persen mereka menolaknya. Jadi tidak boleh. Makanya jika kita masuk TPP, Menteri ESDM (Sudirman Said) senang. Dukungan dia ke Freeport akan lebih kuat lagi dan diatur secara internasional,” paparnya.
Namun, masalah lainnya juga bakal muncul. Kata Rachmi soal kewajiban divestasi Freeport bisa saja ditiadakan. Karena TPP melarang ada divestasi. Sehingga jika pemerintah ngotot minta Freeport untuk divestasi, maka Freepory bisa saja membawa hal ini ke lembaga sengketa internasional.
“Freeport bisa seenaknya menuntut kita ke lembaga sengketa internasional atau ISDS (Investor-State Dispute Settlement). Karena kalimatnya itu terlalu luas, sehingga bisa menimbulkan interpretasi sendiri-sendiri,” papar Rachmi.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan