Jakarta, aktual.com – Ikatan Dosen Muda Perguruan Tinggi Muhammadiyah (IDM-PTM) menanggapi fenomena banyaknya akademisi yang bersuara tentang politik praktis dengan mengeluarkan sembilan pernyataan. Salah satunya adalah permintaan agar akademisi dapat lebih berhati-hati dalam bersikap karena sikap mereka rentan disalahartikan.

Mereka menegaskan bahwa universitas merupakan tempat bagi kecerdasan, intelektualitas, dan pluralitas pemikiran yang tidak dapat dikekang. Perbedaan pendapat, gagasan, sikap, termasuk preferensi politik, adalah hal yang alami di dalamnya.

“Dengan demikian, nisbah gagasan atau sikap tertentu pada nama perguruan tinggi tertentu yang seolah sebagai sikap tunggal universitas tersebut adalah bertentangan dengan prinsip dasar universitas itu sendiri,” ucap Ketua IDM-PTM Isnan Hari Mardika, seperti keterangan yang diterima redaksi, Senin (5/2).

Kedua, Keterlibatan publik dari akademisi dalam menanggapi isu-isu yang berkembang di masyarakat adalah bagian penting dari tanggung jawab mereka sebagai anggota perguruan tinggi untuk memajukan kehidupan berbangsa dan meningkatkan kualitas peradaban. Namun, dalam konteks Pemilu seperti sekarang, mereka disarankan untuk lebih berhati-hati karena ada risiko dimanfaatkan atau disalahgunakan untuk kepentingan politik yang mengurangi peran intelektual mereka menjadi hanya alat politik semata.

“Kaum cendekia harus sadar bahwa pada status, posisi, dan peran intelektual yang disandangnya, melekat kapital sosial dan modalitas politik yang bisa digunakan sebagai alat legitimasi dan mobilisasi elektoral,” lanjut Isnan.

Ketiga, Mobilisasi akademisi yang diselenggarakan oleh pihak-pihak seperti guru besar, forum akademisi, atau perguruan tinggi tertentu, yang baru-baru ini meningkat secara signifikan dan seringkali merespon satu sama lain, dapat dengan mudah disalahartikan sebagai dukungan terhadap calon tertentu di satu sisi, dan sebagai upaya delegitimasi terhadap calon lain di sisi lain.

“Terbukti mulai ada suara yang mengindikasikan gerakan tersebut sebagai manuver para akademisi tertentu itu untuk orkestrasi politik elektoral. Apalagi, bila sebagian akademisi tersebut mempunyai afiliasi atau kedekatan dengan kubu politik tertentu, sebaiknya menahan diri untuk tidak menarik-narik nama perguruan tinggi (PT) ke panggung politik elektoral,” terang Isnan.

Isnan menjelaskan bahwa IDM-PTM tidak mengusulkan agar akademisi harus menjaga jarak, bersikap netral, atau tidak memiliki nilai-nilai. Mendukung pun bukanlah sesuatu yang dihindari sama sekali. Namun, yang penting adalah dukungan tersebut harus didasarkan pada nilai-nilai dan prinsip, bukan pada kelompok atau calon tertentu.

“Preferensi dan afiliasi pribadi terhadap partai atau calon tertentu tentu sah adanya. Namun, bila memang demikian hendaknya disampaikan secara terbuka, bukan membingkai manuver politik sebagai gerakan moral intelektual,” imbuhnya.

“Kelima, perguruan tinggi dan kaum cendekia hendaknya mampu menjaga diri dan menahan hasrat untuk tidak gampangan, asal tampil dan akrobatik pada panggung-panggung politik rendahan yang berorientasi untuk mengais remah-remah elektoral untuk kepentingan kelompok politik terntentu,” sambungnya.

Keenam, Isnan menyarankan agar perguruan tinggi dan akademisi menjadi lebih hati-hati, menyelaraskan pendapat mereka dengan keinginan dan aspirasi masyarakat, serta menempatkan dukungan mereka pada arus utama opini publik, bukan sebaliknya.

Ketujuh, perguruan tinggi dan akademisi seharusnya ikut menggalakkan agar proses demokrasi yang telah berlangsung hingga Pemilu ke-6 sejak reformasi, beralih dari praktik politik yang primitif dan memanfaatkan sentimen negatif, menuju politik yang lebih maju dengan penekanan pada gagasan dan pemikiran rasional, dalam upaya mencapai visi Indonesia Emas sebagai negara maju.

Kedelapan, fokus saat ini bagi perguruan tinggi dan akademisi seharusnya adalah untuk meningkatkan pendidikan publik agar masyarakat dapat memilih secara demokratis, berintegritas, dan sadar. Mereka perlu percaya bahwa rakyat adalah subjek politik yang berdaulat dan mampu memilih dengan bijak.

“Karena itu, PT cukup memposisikan diri sebagai mercusuar yang memberikan panduan moralitas dan akhlak politik sebagai pegangan publik untuk memilih, bukan mengarah-arahkan dukungan,” ucapnya.

Isnan menyarankan agar semua pihak menahan diri dari menyebarkan narasi-narasi yang menimbulkan ketakutan, menuduh kecurangan dalam Pemilu, dan meragukan netralitas penyelenggara yang dapat merusak legitimasi Pemilu serta meningkatkan ketegangan politik menjelang pemilihan. Dia meminta agar segala upaya yang bertujuan untuk menggambarkan negara dalam keadaan darurat dan memerlukan penyelamatan dihentikan.

“Hentikan antagonisme politik dan demonisasi yang menggiring kontestasi politik menjadi perang bubat antara ‘kubu kebaikan’ dan ‘kubu kemungkaran’, antara ‘pahlawan’ melawan ‘begundal’. Pemilu adalah ajang kontestasi putra-putri terbaik bangsa untuk melanjutkan estafet kepemimpinan,” ucapnya.

Dia menambahkan, di antara jutaan anggota Timses di masing-masing-masing kubu, adanya oknum nakal adalah niscaya.

“Kawal dan awasi prosesnya, laporkan kecurangannya, sanksi oknumnya, tindak secara proporsional sesuai ketentuan yang berlaku. Tak perlu secara berlebihan melabeli kubu tertentu curang,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain