Jakarta, Aktual.com – Disebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2020 mengalami kontraksi minus 5.32% dan, secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I-2020 dibandingkan dengan semester I-2019 mengalami kontraksi minus 1.26%. Oleh sebab itu segala upaya dilakukan pemerintah untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi Indonesia agar tidak masuk ke jurang resesi.
Kontribusi sektor industri perumahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional hanya 2.7%, jauh dibawah kontribusi properti di negara kawasan Asean yang berkisar antara 8%-23%.
Namun diakui adanya hambatan yang menggangu pertumbuhan sektor perumahan sebagai akibat ketidakpastian perekonomian global akibat perang dagang hingga penyebaran Covid-19. Pendapatan bisnis sektor properti di era adaptasi kebiasaan baru hanya mencapai 50% dari masa normal mengingat antara lain hanya sektor rumah subsidi saja yang masih bergerak karena adanya stimulus pemerintah dibanding pengembang perumahan non-subsidi.
Padahal industri perumahan menjadi program prioritas karena Negara bertanggungjawab agar setiap rumah tangga di Indonesia menempati rumah yang layak huni, dan pemerintah pusat bertanggungjawab atas penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tentunya pasti, industri perumahan juga menciptakan lapangan kerja padat karya.
Demikian terungkap dari pernyataan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, yang menegaskan 4 (empat) program pembangunan perumahan selama 5 (lima) tahun ke depan diantaranya 50.000 unit rumah susun, 25.000 unit rumah khusus, 1.500.000 unit rumah swadaya, dan 500.000 bantuan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) perumahan. Pagu anggaran tahun 2020 senilai Rp. 8.48 triliun untuk mencapai target prioritas bidang penyediaan perumahan.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur BTN, Pahala Sianturi, menyatakan bahwa industri perumahan memiliki multiplier effect di 170 subsektor industri lainnya. Misalnya pengembang akan membutuhkan para pekerja (padat karya), pemasok material pembuatan rumah, kelengkapan rumah seperti TV, kulkas, listrik, perabotan, alat-alat dapur bahkan jaringan komunikasi (telpon, internet).
Para pekerja/buruh bangunan akan membelanjakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhannya seperti penyewaan kamar/kontrak rumah, sandang/pangan, transportasi bahkan alat komunikasi. Daerah juga membutuhkan UMKM/UKM dan partisipasi Bank/institusi jasa keuangan dalam kaitan dengan pemberian kredit ke industri perumahan hingga akhirnya berdampak terhadap 170 subsektor industri lainnya.
Masalah perijinan di sektor properti, khususnya perumahan subsidi untuk MBR menjadi hambatan utama. Proses pengurusan perijinan membutuhkan waktu hingga 2 (dua) tahun. Maka itu, inisiatif Kejaksaan Agung (Kejagung) ikut mengawal dan mengamankan proses perizinan pembangunan rumah MBR di seluruh Indonesia patut menjadi contoh terobosan kebijakan.
Program Sejuta Rumah bersifat padat karya, dan proyek mercusuar pemerintahan Jokowi. Skema Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) menjadi solusi pencapaian target kebutuhan mendasar (necessity) rumah sederhana ini, tentunya dipadukan dengan teknologi panel perumahan yang kuat dan modern.
Realisasinya, skema BP2BT dipadukan dengan keanggotaan program IKNB (Industri Keuangan Non Bank) yang mempunyai sejumlah saldo tertentu, seperti peserta BPJS Ketenagakerjaan atau Dana Pensiun Pemberi Kerja/Lembaga Keuangan.
IKNB adalah raksasa keuangan Indonesia yang masih lelap tertidur, atau menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, Dana Pensiun seperti danau dangkal keuangan Indonesia. Sehingga sepantasnya pula IKNB butuh variasi sentuhan insentif kebijakan, terutama untuk menguatkan kemandirian pembiayaan pembangunan nasional.
Berdasar statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total aset IKNB pada Maret 2020 mencapai Rp. 2.490 triliun. Termasuk aset dan investasi Dana Pensiun per Januari 2020 mencapai Rp. 282.1 Triliun, dan aset asuransi per Desember 2019 sebesar Rp. 913.8 Triliun. Belum lagi dana kelolaan Jaminan Sosial dan institusi lembaga keuangan non bank lainnya.
Ada skema lain yang masih kontroversi untuk pembiayaan perumahan subsidi utk MBR, yakni menerapkan teori MMT (Modern Monetary Theory) yang dilakukan dengan tepat sasaran serta bertanggung jawab, dan penggunaan dana tersebut diawasi secara ketat oleh Kejagung dan KPK.
Maksud mazhab MMT dalam kaitan program sejuta rumah ini bahwa penerbitan/cetak uang dipadankan dengan proyek riil lokal. Bukan proyek import, misalnya beli pesawat atau bangun pabrik yang bertumpu pada utang mata uang asing, foreign currency heavy. Karena membangun jutaan rumah sederhana pasti memakai komponen lokal, tidak ada komponen impor, dan proyek di kontrol ketat. Jadi tidak ada efek kurs/mata uang, dan efek inflatoir bisa diminimalisasi. Tidak boleh sembarangan untuk penerbitan/cetak uang bila mengikuti mazhab MMT.
Semoga pilihan kebijakan diatas menjadi hadiah istimewa bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) saat 75 Tahun Indonesia Merdeka.
Salam Bhinneka Tunggal Ika
Juliaman Saragih, Ketua/Pendiri NCBI (Nation and Character Building Institute) Telp. 0812-9337-8644
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin