Medan, Aktual.com – Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) Sumut, Swardi mengatakan pengungkapan kebenaran mutlak harus dilakukan.
Hal ini dikatakan terkait wacana rekonsiliasi dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
“Jika langkah yang akan ditempuh adalah dengan cara rekonsiliasi, maka pengungkapan kebenaran menjadi mutlak,” tandas Swardi kepada Aktual.com dalam keterangan tertulis, Rabu (8/7).
Menurut Swardi, pentingnya pengungkapan kebenaran dikarenakan mayoritas korban dalam tragedi pelanggaran HAM, termasuk korban peristiwa 65, tidak mengetahui mengapa akhirnya mereka menjadi korban.
“Makanya hak untuk mengetahui mengapa mereka menjadi korban harus dibuka, termasuk mengapa peristiwa tersebut terjadi. Hal ini untuk memastikan agar kejadian serupa tidak lagi terulang,” tukasnya.
Swardi menambahkan, wacana pemerintahan Jokowi hari ini menjalankan janji politiknya saat kampanye untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat harus tetap mengakomodir kepentingan korban.
“Setidaknya ‘manifestasi’ dari program nawacitanya pemerintahan kini, mencoba mencari ruang untuk dapat menuntaskan kasus pelanggaran HAM,” tandasnya.
Swardi mengakui, penuntasan kasus, khususnya peristiwa 65’ tentu memunculkan diskusi yang panjang. Sekalipun kecenderungannya adalah untuk menyelesaikan dengan cara non-yudisial atau rekonsiliasi.
“Pertimbangan untuk mengambil langkah tersebut tentu dengan melihat situasi secara objektif. Ditengah pembiaran negara selama ini kepada korban, khususnya korban peristiwa 65’ telah mengakibatkan kondisi korban semakin terpuruk dengan usia korban juga yang menjadi pertimbangan,” tandasnya.
Wacana untuk menyelesaikan dengan berharap kepada dasar hukum UU KKR yang baru akan dibentuk, dirasa tidak mudah. Waktu dan perdebatan politik untuk mengesahkan UU tersebut hanya akan memperpanjang dan memperlama korban mendapatkan hak.
Pemulihan hak korban adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari dari konsekuensi penyelesaian. Dan rekonsiliasi, seharusnya dilaksanakan setelah korban mendapatkan pemulihan.
Sayangnya, tambah Swardi, justru wacana rekonsiliasi yang digaungkan hari ini seakan tidak memperhatikan hak korban. Jika terus dipaksakan, maka akan muncul kekhawatiran adanya upaya egitimasi stigma korban 65 yang selama ini kerap mendapatkan cap buruk.
“Salah satu hak korban pelanggaran HAM berat adalah hak atas rehabilitasi. Semangat dari hak ini setidaknya untuk mengembalikan keadaan korban seperti sebelum peristiwa pelanggaran HAM terjadi. Tentu ini sesuatu yang tidak mungkin terealisasi sepenuhnya, akan tetapi setidaknya ada bentuk upaya dan perhatian negara sebagai pemangku kewajiban dalam konteks HAM,” tuturnya.
Artikel ini ditulis oleh: