Jakarta, Aktual.com – Kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendorong keikutsertaan Indonesia di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, harus bisa menjalin kerja sama demi kepentingan Indonesia. Salah satunya di sektor perpajakan.

Untuk itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus berani tampil memimpin kerja sama global dalam perpajakkan, termasuk antaryuridiksi perpajakan.

Direktur Eksekutif Prakarsa, Ah Maftuchan menginginkan pemerintah Indonesia untuk mengampanyekan kepatuhan pajak secara global, khususnya kepatuhan korporasi global dan orang superkaya.

Apalagi selama ini, kata dia, Indonesia sebagai salah satu negara yang menjadi korban dari praktik penghindaran dan pengelakan pajak internasional.

“Makanya, Indonesia harus memaksa seluruh kepala negara anggota G20 untuk bersama-sama memerangi penggelapan pajak,” tutur dia di Jakarta, ditulis Minggu (9/7).

Maftuchan juga juga mengemukakan, Pemerintah Indonesia, harus mendorong kebijakan pajak progresif dan redistributif secara global melalui G20 dan forum multilateral lainnya.

“Karena yang penting, pajak itu harus menjadi instrumen bagi peningkatan investasi publik dan peningkatan kesejahteraan sosial serta penurunan ketimpangan,” papar Maftuchan.

Makanya, kata dia, Presiden Jokowi harus berani memimpin kerja sama global, termasuk antaryurisdiksi pajak dan penegak hukum dalam pencegahan dan penanganan kejahatan ekonomi dan perpajakan itu.

Sektor perpajakan lainnya, kata dia, yang penting untuk didorong adalah kerja sama pemajakan terhadap bisnis digital. Sebab potensi pajak dari sektor bisnis digital sangat besar dan kepatuhan mereka dinilai masih sangat rendah.

Hal senada diutarakan Koordinator Nasional LSM Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah. Menurutnya, KTT G20 di Jerman penting untuk disikapi secara kritis karena secara langsung akan berimbas pada kebijakan dalam negeri Indonesia, khususnya di sektor pajak dan industri ekstraktif.

Menurutnya, ada lima hal yang harus menjadi perhatian PWYP Indonesia antara lain, Indonesia dan negara-negara G20 harus serius menindak dan mencegah praktik aliran uang ilegal yang berasal dari praktik penghindaran dan pengemplangan pajak, pencucian uang, dan kriminal lain dengan membentuk mekanisme pengawasan yang tepat.

“Makabya perlu Indonesia mendorong adanya transfer pengetahuan dari negara-negara G20 dalam implementasi Automatic Exchange of Information (AEoI) itu agar penerapannya dapat berjalan secara baik dan efektif,” kata Maryati.

Pemerintah Indonesia dan negara-negara G20, ujar dia, dituntut serius untuk segera mengesahkan peraturan soal “beneficial ownership”. “Itu (keuntungan) dari perusahaan dan entitas legal lainnya yang mengambil benefit di Indonesia,” katanya.

Selain itu, ia melanjutkan, Indonesia dan negara G20 juga dinilai penting untuk memastikan perusahaan di sektor ekstraktif untuk mematuhi standar-standar internasional dalam pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek HAM, lingkungan, tata kelola (transparansi dan akuntabilitas), dan hak-hak pekerja pada sepanjang rantai nilainya.

Dalam KTT G20 di Hamburg tersebut, Jokowi menyatakan, Indonesia mendukung pengembangan kemitraan yang sejajar antara negara G20 dan Afrika.

Presiden juga menyinggung isu digitalisasi. Presiden meyakini teknologi digital akan makin mengubah dan mendominasi kegiatan ekonomi.

Indonesia mendukung kerja sama yang makin erat untuk merumuskan kebijakan yang tepat dalam mengantisipasi perubahan ekonomi, bisnis, dan tenaga kerja akibat perubahan teknologi otomatisasi dan “artificial intelligence”.

“Saya juga mendorong kerja sama perpajakan untuk menangani digital ekonomi dan e-commerce agar tercipta sistem pajak global yang adil,” ucap Presiden.

 

Laporan Busthomi

Artikel ini ditulis oleh: