Saudaraku, pandanglah pendar cahaya sang surya. Terang keemasan mengeluarkan hari dari gelap.
Datang tak diundang, pergi tanpa pamit; menghidupkan seluruh makhluk, melayani tanpa kecuali, mengajak semua rayakan sang kala; bangunkan daya-karya segala nan hayat.
Bila mentari yang mati rasa bisa bangunkan yang hidup. Manusia yang punya rasa mesti lebih bisa bangkitkan yang mati.
Entah seberapa karatan daya pikir kita mati. Otak manusia bak superkomputer kapasitas jutaan megabit, disiasiakan tanpa pemanfaatan.
Entah seberapa limpah karunia kekayaan alam kita mati. Gelimang sumberdaya negeri, memadai makmurkan negeri, terkikis habis tanpa nilai tambah.
Entah seberapa parah sensitivitas hati kita mati. Berkah ragam agama-budaya pengasah bela rasa berbelok salah ajar, mengeras jadi fosil ritual tanpa roh kasih.
Ketika yang hidup hanya mengandalkan yang mati, seterang apapun sinar mentari tak bisa nyalakan nurani.
Di langit jiwa yang mati, manusia berjalan bagai zombie. Tumpul rasa, asing diri. Tak kenal asal, tak tahu tujuan. Mega mendung menyelimuti langit hati.
Di tengah kehidupan yang kelam, penduduk negeri menanti kedatangan bintang penuntun. Bagaimana bisa terlahir juru selamat tanpa terang jiwa?
Orang-orang harus menyalakan sumbu kalbu. Sesungguhnya setiap pancaran jiwa itu sanggup terangi alam batin kehidupan. Cahaya hati manusia agung bisa bangkitkan matahati jutaan manusia dari dekapan kegelapan.
Sayang, banyak manusia cuma mengutuk kegelapan. Menanti cahaya ibarat pungguk rindukan bulan. Terlanjur menikmati jalan sesat, tak siap menempuh jalan tobat. Padahal, setiap pensuci memiliki masa lalu, dan setiap pendosa memiliki masa depan.
Orang-orang percaya mestinya punya sukma bercahaya. Pancaran kalbunya bergerak meninggi mendekati mentari di titik zenit.
Setiap amal ibadah mestinya gerak mikraj satu derajat lebih tinggi dalam pancaran jiwa. Jika cahaya iman pemeluk semua agama serempak meninggi setingkat kunang-kunang saja, jutaan manusia bisa dituntun keluar dari kegelapan.
Dari kesadaran penglihatan cahaya iman yang menjulang, semua warna menyatu, rasa bersambung, rezeki berbagi. Itulah jalan emansipasi sejati!
Yudi Latif