Dengan film ini, kata Prof Hariyono bisa menjadi media cukup efektif untuk menularkan “virus-virus” Pancasila agar ideologi negara ini tidak hanya ditafsirkan sebagai sebuah “meja statis”. Arti dari meja statis dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, adalah Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa.

“Sehingga selama ini di frame pemikiran kita kalau bicara Pancasila ya tolerasi, kerukunan umat beragama, dan seterusnya. Itu enggak salah, penting,” ujarnya.

Sementara, Arsitek dan sejarawan, Dr. Yuke Ardhiati menambahkan bahwa sejak tahun 1957, Bung Karno terus mengemukakan gagasan membangun Jakarta Cityplan yang terintegrasi dengan wajah yang baru untuk menghapus wajah kolonialisme pada kota Jakarta menjadi wajah Indonesia.

“Tiga Patung karya Edhi Sunarso sebagai penanda untuk mengisi tata kota Jakarta. Bung Karno memilih Edhi Sunarso karena karya-karyanya sangat ekspresif, dapat menggambarkan tentang sosok yang penuh semangat mewakili ekspresi bangsa Indonesia, sesuai dengan keinginan Bung Karno yang selalu memotivasi semangat nasionalisme pada segenap anak bangsa,” ucap Yuke saat diskusi disela peluncuran Film documenter tersebut.

Sedangkan sutradara film Tiga Patung, Erlan Basri mengatakan film ini ingin memberi pesan sejarah dan filosofi melalui media audio visual setelah menemukan buku “Kisah 3 Patung” yang ditulis Hilmar Farid.

“Ini ternyata punya cerita masa lalu. Patung yang selama ini kita temui sehari-hari, kita lewati, tapi ketika baca buku itu tertarik saya. Ternyata sejarahnya lebih dahsyat lagi dari apa yang kita lihat secara visual,” kata Erlan.

Kata dia, saat ini Indonesia rindu seorang pemimpin bangsa yang mampu memotivasi bangsanya, khususnya para pemuda untuk memiliki Nation Pride dalam berkarya di bidang apapun, sehingga penuh kesungguhan untuk mewujudkan karya yang luar biasa dan menjadi kebanggaan bangsa.

“Karena itu, rencananya dalam waktu dekat film ini akan diputar di kampus-kampus dan sekolah untuk memotivasi para pemuda mewujudkan karya-karya luar biasa, hingga bermanfaat untuk bangsa dan mengangkat Nation Pride ke Indonesian kita, di era milenial yang tanpa sekat, kini,” tandas dia.

Panitia penyelenggara Wahyu yang juga mahasiswa FFTV-IKJ menjelaskan pihaknya sengaja mengelar pemutaran film sekaligus diskusi yang diisi oleh Kepala BPIP Prof Hariyono, Pakar Seni Yuke, Konseptor Eagle Award Lianto Luseno, dan sang sutradara Erlan.

“Alhamdulillah berjalan lancar dan meskipun tanpa promosi, hanya melalui WhatsApp dan sosial media saja, penonton membludak hingga akhirnya dibuat 2 kali sesi pemutaran,” tandas Wahyu

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby