Jakarta, Aktual.com – Pengamat pangan dari Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Susanto menyebut, impor pangan dari tahun ke tahun terus meninggi. Hal ini membuktikan masalah tata kelola pangan dari pemerintah yang sangat mengkhawatirkan.
Apalagi, kata dia, kondisi pangan ini semakin diperparah dengan adanya fluktuasi harga yang tinggi. Jika ini terus dibiarkan, maka yang pakung dirugikaan adalah konsumen miskin.
“Karena semakin besar fluktuasi harga, maka semakin besar upaya terjadinya penimbunan (hoarding). Hal ini tentu akan merugikan konsumen miskin dan mendistorsi sinyal pasar,” kata Dwi di Jakarta, Minggu (25/12).
Dia menambahkan, selama ini pasokan pangan tidak menentu dari tahun ke tahun, bahkan dari bulan ke bulan. Sementara dari aspek kebutuhan itu sangat pasti.
“Tapi masalahnya, justru fluktuasi harga pangan itu lebih nyata dan lebih tidak menentu dibanding pasokannya. Padahal, dari sisi supply dan demand sangat tidak elastis dalan jangka pendek hingga medium. Ini yang tak dilakukan pemerintah.”
Kondisi tersebut, kata dia, membuat harga yang cenderung berubah itu lebih besar sebagai respon terhadap pasokan dan permintaan itu.
“Sementara kondisi yang terjadi, pangan yang diperdagangkan di dunia itu sangat terbatas volumenya dan volatile. Ini mengakibatkan tidak bisa digunakan sebagai jaring pengaman. Serta adanya distorsi pasar karena perdagangan pangan dunia bersifat oligopolistik.”
Untuk itu, kata Dwi, pemerintah perlu melakukan tata kelola pangan dengan baik, seperti perlu menghindari intervensi langsung ke pasar, juga dilakukan integrasi sistem pangan nasional ke sistem pangan dunia.
“Dan dalam tata kelola pangan ini harus bisa menjadi jaring pengaman sosial serta menggunakan instrumen manajemen risiko berbasis pasar.”
Dengan tata kelola pangan yang tak tepat itu, membuat impor pangan terus meninggi. Seperti impor beras. Pada 2015, volume impor sebanyak 861,630 ton. Sedang hingga September 2016, impor beras sudah mencapai 1.146.326 ton.
Bahkan impor juga dilakukan terhadap komoditas lain, seperti jagung, kedelai, gandum, termasuk ubi kayu.
Untuk impor jagung dari 2015 (3.500.104 ton), hingga Sepetember 2016 (1.016.043 ton). Kedelai di 2015 (6.416.821 ton), sekarang (4.788.898 ton). Kemudian gandum di 2015 (7.623.251 ton) dan kini (8.484628 ton).
“Bahkan ubi kayu juga diimpor. Pada 2014 sebanyak 365.085 ton. Tapi tahun lalu melonjak 600.163 ton. Dan tahun ini hingga September sudah mencapai 518.112 ton.”
Laporan: Busthomi
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu