Hal ini disebabkan oleh adanya aturan yang dibuat asosiasi pengusaha dari industri farmasi dan rumah sakit tentang pekerjaan cor bisnis dan non core bisinis.

Padahal, tegas Idris, rumah sakit ataupun di industri farmasi adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus (core bisnis) karena saling terintegrasi dan tidak bisa di kontrak ataupun di outsourcingkan.

“Asosiasi rumah sakit menganggap pekerjaan core bisnis itu hanya dokter, bidan, dan perawat. Kemudian asosiasi farmasi menganggap yang termasuk cor bisnis dari input-proses-output adalah yang ada di prosesnya dengan kata lain bagian pengepakan bukan cor bisnis”, jelasnya.

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menuntut agar sistem INA CBGs dicabut dan diganti dengan fee for service. Sebabnya adalah, sistem kapitasi terlalu murah sehingga menyebabkan kualitas pelayanan klinik dan rumah sakit.

INA CBGs mengatur harga obat yang harus diberikan kepada pasien BPJS Kesehatan berdasarkan formularium yaitu suatu sistem penyediaan obat-obatan nasional yang akan dipakai dalam BPJS Kesehatan. Tim formularium mewajibkan obat generic dalam seluruh layanan BPJS Kesehatan. Kewajiban ini didasari alasan minimnya anggaran dalam paket diagnosis.

Penggunaan obat generic secara massive di tingkat nasional memberi dampak langsung terhadap produsen obat patent. Untuk dapat bergabung dalam obat BPJS Kesehatan produk patent harus memberi diskon hingg sebesar 70% dari harga normal.

Parahnya, pemberian diskon tidak lantas memastikan obat patent tersebut semerta-merta digunakan oleh Rumah Sakit Pemerintah maupun Swasta. Apalagi beberapa rumah sakit telah melakukan kontrak dengan perusahaan farmasi tertentu yang berani memberi diskon di awal kontrak. Selain itu beberapa rumah sakit merupakan bagian dari grup holding yang telah memiliki afiliasi farmasi tersendiri.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby