Pelemahan rupiah ini seiring dengan hasil Unggulnya Donald Trump dari Partai Republik dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) 8 November 2017 direspon negatif oleh para pelaku pasar. Mata uang Asia sebagian besar langsung melemah begitu Donald Trump memimpin perolehan suara dibandingkan calon presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Dana asing yang keluar (capital outflow) dari pasar Indonesia dalam tiga hari ini terus mengalami peningkatan hingga mencapai Rp5 triliun. Kondisi ini tak bisa dianggap remeh, ketika kondisi global tak berpihak terhadap kondisi pasar dalam negeri baik pasar modal atau pasar uang.

“Kondisi itu, menjadi indikasi risiko di pasar keuangan yang terus meningkat,” ungkap pengamat ekonomi dari INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, di Jakarta, Jumat (18/11).

Kondisi ini dipicu oleh Trump effect (efek dari terpilih Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat) atau pulangnya dana-dana asing ke AS itu.

“Nahas memang, dana asing yang pulang tersebut sebagian besar berasal dari negara berkembang seperti Indonesia,” jelasnya.

Menurutnya, ada kekhawatiran kebijakan Trump yang cenderung proteksionis membuat perekonomian negara berkembang goyah, terutama bagi negara yang punya porsi ekspor besar ke AS.

Trump nampaknya bersikukuh melakukan perombakan terhadap kerja sama perdagangan luar negerinya, termasuk North America Free Trade Agreement (NAFTA) dan Trans Pacific Partnership (TPP).

“Jadi, era perdagangan bebas di ujung tanduk, apalagi setelah adanya Brexit beberapa waktu yang lalu. Sekarang ditambah Brexit effect,” ujarnya.

Dia menegaskan, The Economist Intelligence Unit bahkan menyebutkan bahwa kebijakan proteksi Trump sebagai salah satu ancaman terbesar perekonomian global saat ini.

Sehingga, menghadapi situasi yang surprise ini tentu butuh persiapan yang cukup matang. Dengan begitu, nasib perdagangan Indonesia pun dipertaruhkan.

Menurutnya, di satu sisi hampir 80% ekspor Indonesia secara keseluruhan adalah komoditas mentah yang rentan terhadap fluktuasi harga.

“Tapi di sisi yang lain Indonesia masih bergantung pada ekspor ke negara tujuan utama yaitu AS, China dan Jepang yang ketiganya saling berkaitan,” kata dia.

Melihat kondisi yang tak menentu tersebut, Bhima menegaskan, saat ini investor terlihat jelas sedang mengatur strategi baru. Dia melihatnya, investor bukan lagi sedang wait and see, tapi yang lebih pas sebenarnya rethinking new strategy.

“Jadi, investor itu memikirkan strategi terbaik untuk menanggulangi ketidakpastian di negara berkembang paska Trump Effect, terlebih pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menurun dari 5,18% di triwulan II-2016 menjadi 5,02% di tiga bulan selanjutnya,” pungkas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan