Pedagang merapikan barang dagangannya di Tebet, Jakarta, Senin (3/10). Secara umum, bahan makanan deflasi tapi ada kenaikan cabai merah sehingga peranannya mengalami inflasi. Aktual/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah masih menghadapi permasalahan perekonomian yang kian pelik. Salah satunya terkait daya beli masyarakat yang terus anjlok.

Namun masalahnya, pemerintah sendiri dianggap tak bisa memberikan stimulus di saat perekonomian sedang memburuk. Sehingga pertumbuhan ekonomi yang dicapai 5,02% hanya bergantung pada konsumsi rumah tangga.

“Tidak didukung oleh kekuatan daya beli. Daya beli turun itu karena kenaikan upah yang terjadi tak lebih tinggi dari laju inflasi. Masih gedean inflasi,” kata peneliti INDEF, Abdul Manap Pulungan, di Jakarta, Kamis (9/2).

Menurut Manap, laju inflasi di 2016 yang dipuji-puji karena rendah sebesar 3,02 persen, ternyata masih dianggap tinggi jika dibandingkan dengan kenaikan upah.

“Ditambah lagi, investasi yang masuk juga tak banyak menyerap tenaga kerja. Jadi tenaga kerja yang diserap di 2016, totalnya cuma 277 ribu tenaga kerja per 1% pertumbuhan ekonomi. Ini masih sangat rendah,” tandas dia.

Apalagi, kata dia, belanja pemerintah juga tak bisa diandalkan. Seharusnya, belanja pemerintah itu berkontribusi lebih besar lagi. Tapi ternyata tidak berdampak positif. Bahkan di pemda saja tidak melakukan belanja yang berarti.

“Memang konsumsi pemerintah bergerak lamban karena persoalan ketersediaan dana yaitu rendahnya penerimaan pajak. Jika hal ini terus terjadi akan menjadi ancaman pertumbuhan ke depannya,” paparnya.

Manap juga masih mengkhawatirkan laju gejolak harga pangan yang masih tinggi. Karena akan bisa menurunkan daya beli masyarakat. “Jika pemerintah tak bisa menangani, akan menurunkan konsumsi. Sehingga dampaknya bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga,” pungkas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan