Jakarta, Aktual.com – Kepatuhan perusahaan-perusahaan pertambangan baik sektor minyak bumi dan gas (migas) ataupun sektor mineral dan batu bara (minerba) sangat rendah. Bahkan kondisi itu terjadi ketika harga komoditas migas dan minerba masih melambung tinggi.
Untuk itu, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan diminta bersikap tegas. Jangan terus dikadalain oleh perusahaan tambang tersebut. Termasuk kalau terbukti melanggar, wajib dikenai sanksi tegas.
“Yang disayangkan lagi, saat ini sudah ada program tax amnesty (pengampunan pajak), tapi mereka juga enggan untuk ikut. Ini disayangkan. Makanya pemerintah harus berinisiatif,” ujar pengamat ekonomi dari INDEF, Ahmad Heri Firdaus, di Jakarta, Minggu (30/10).
Menurut Heri, pemerintah harus gesit dalam melakukan pendekatan ke investor di sektor migas dan minerba. Pemerintah harus masif mensosialisasikan dan ajak pelaku sektor pertambangan ini untuk ikut tax amnesty.
“Karena kebijakan ini penting, selain menambah penerimaan negara, juga bisa memperluas tax bases (basis pajak) di sektor tersebut,” tegasnya.
Namun demikian, dirinya juga meyakini minimnya kepatuhan mereka untuk bayar pajak, salah satunya karena adanya masalah yang mengarah ke praktik transfer pricing terutama dari perusahaan pertambangan dari asing.
“Ini lagi-lagi tugas pemerintah untuk bisa mengungkap praktik ini (transfer pricing). Karena kalau ada dugaan transfer pricing memang mesti ada bukti yang kuat. Makanya dibutuhkan ketegasan pemerintah,” tegasnya.
Untuk itu, kata Heri, ada baiknya pemerintah memang perlu menyelidiki secara menyeluruh kinerja perusahaan migas dan minerba, kenapa sektor ini terbilang terlalu kecil kepatuhan pajaknya.
“Yang penting, kalau terbukti ada pelanggaran dari perusahaan itu, tak ada ampun lagi, perlu disanksi secara tegas,” kecamnya.
Sebelumnya, DJP merilis data, sejak tahun 2011 ketika harga komoditas minerba tengah melambung, kepatuhan membayar pajak mereka juga rendah. Dan saat ini, tatkala harganya tengah anjlok, kian memprihatinkan lagi kepatuhannya tersebut.
Pada 2011, WP di sektor pertambangan yang lapor Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak sebanyak 3.307, dan yang tak lapor 2.962 WP. Di 2012, ada 3.081 WP yang lapor dan 2.920 yang tak lapor. Di 2013, ada 2.966 WP yang lapor SPT, dan 3.035 tak lapor.
Kemudian, di 2014, ada 2.841 WP yang lapor SPT dan 3.160 WP tak bayar pajak. Dan tahun lalu semakin memprihatinkan. WP yang lapor SPT cuma 2.577, dan yang tak lapor 3.624 WP.
Sementara untuk KB Pajak Penghasilan (PPh) terutang, untuk nominal kurang dari Rp100 juta jumlah WP-nya ada 2.565. Nominal terutang antara Rp100 juta sampai Rp500 juta sebanyak sembilan WP. Dan nominal lebih dari Rp500 juta ada tiga WP.
“Dari data keikusertaan tax amnesty, dari jumlah WP (wajib pajak) pertambangan minerba dari 6.000 WP, yang ikut tax amnesty cuma 967 WP. Dan WP sektor migas dari 1.114 WP, cuma 68 WP yang ikut tax amnesty. Itu fakta loh,” ujar Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Ken Dwijugiasteadi belum lama ini.
Jumlah yang sedikit itu terlihat pula dari uang tebusan yang diterima DJP. Kata Ken, total uang tebusan dari sektor minerba hanya Rp221 miliar. Sedang total uang tebusan dari sektor migas cuma Rp40,6 miliar.
Dan jika dilihat nominal uang tebusan terendah dari perusahaan yang selama ini dianggap sumber uang juga sangat aneh. Kata Ken, tebusan paling rendah dari minerba Rp 5.000, paling tinggi Rp96,3 miliar, dengan rata-rata Rp226 juta. Sedang di migas paling rendah Rp150 ribu, paling tinggi Rp17,4 miliar. Dengan rata-rata Rp527,2 juta.
“Itu yang mereka laporkan. Benar atau tidak, nanti akan ketahuan pasca tax amnesty berakhir,” ancam Ken.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan