Jakarta, Aktual.com – Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Mohammad Reza Hafiz menilai praktik penjualan solar tidak berkeadilan bagi masyarakat.

Semestinya harga solar subsidi di masyarakat lebih murah dari pada non subsidi (untuk konsumsi industri). Kenyataan, justru sebaliknya. Solar non subsidi lebih murah daripada solar subsidi (untuk konsumsi masyarakat).

Menurut Reza, Pertamina yang dinahkodai Dwi Soetjipto tidak melakukan perhitungan yang cermat dengan mengabaikan prinsip efisiensi dan transparansi. “Selain perhitungan yang kurang tepat, Pertamina juga belum transparan,” kata dia, kepada Aktual.com, Senin (9/5).

Diketahui stok nasional solar saat ini sudah berada di level yang tinggi, yakni di atas 24 hari. Bahkan selama 2016 berada di kisaran 30-an hari. Over stok ini menyebabkan krisis daya tampung penyimpanan (krisis Ullage) hingga terjadi inefisiensi akibat penurunan produksi kilang.

Kondisi tahun 2015 pada Juli stok tersedia 27 hari, Agustus 26 hari, September 24 hari, Oktober 24 hari, November 25 hari, Desember 24 hari. Selanjutnya 2016 Januari 28 hari, Februari 27 hari, Maret 28 hari dan April 33.

Untuk mengatasi kondisi di atas, dengan mengacu risalah rapat direksi Pertamina No 047 tanggal 22 Maret 2016, maka dilakukan kargo solar dengan harga diskon pada konsumen industri sebesar 105persen MOP, atau setara Rp4 550/liter. Sebagai informasi, harga normal konsumen industri saat ini adalah USD 53/Bbl.

Harga ini jauh lebih murah dibanding harga penjualan solar PSO (konsumsi masyarakat) sebesar Rp 5500 / liter. Dengan kata lain, pemerintah saat menetapkan harga solar PSO bulan Maret 2016 membuat rakyat Indonesia dipaksa untuk menanggung inefisiensi Pertamina.

Kondisi diperparah dengan masih adanya solar impor yang terus dilakukan oleh pertamina walau stok nasional sudah tinggi.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta