Menurut dia, studi komprehensif yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur adalah masalah dampaknya. Seperti terkait proyek tol itu, ternyata membuat daerah yang semula dilewati jalan non tol setelah ada tol menjadi semakin mengkhawatirkan dan sepi.

“Karena tak dilewati lagi oleh orang. Artinya dalam investasi infrastruktur itu, mestinya tak hanya memperhatikan IRR-nya saja. Tapi juga bagaiman benefit cost-nya. Kalau kemudian risikonya tinggi pelaku usaha juga tak percaya,” kata dia.

Sejauh ini anggaran infrastruktur sejak 2014, kata dia, anggarannya terus meningkat dari Rp154,6 triliun menjadi Rp256,3 triliun (2015), kemudian sebanyak Rp307,1 triliun (2016).

“Dan naik 23 persen dalam APBN 2017 mencapai Rp377,8 triliun. Tapi persoalannya tidak menumbuhkan confident pelaku usaha. Padahal anggarannya terus meningkat,” pungkasnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan