Wisatawan memotret kerbau di Padang Savana Bekol, Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur (28/3). UNESCO menetapkan empat kawasan konservasi yaitu Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Meru Betiri, dan Cagar Alam Kawah Ijen, sebagai Cagar Biosfer. Sejak 1971 sebanyak 669 kawasan di 120 negara telah ditetapkan UNESCO sebagai Cagar Biosfer. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/kye/16.

Jakarta, Aktual.com – Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) meminta pemerintah untuk menunda rencana pemasukan atau impor daging kerbau dari India pada Juli 2016, mengingat negara itu hingga saat ini belum bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK).

PPSKI pun telah mengirimkan surat permintaan penundaan pemasukan daging kerbau dari India tersebut kepada Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong.

“Kami Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia meminta dengan sangat kepada Pemerintah agar menunda pemasukan daging kerbau dari India atau setidaknya menunda distribusi daging kerbau tersebut ke pasar,” ujar Ketua PPSKI Teguh Boediyana di Jakarta, Selasa (12/7).

PPSKI juga mengungkapkan sejumlah alasan terkait permintaan penundaan pemasukan daging kerbau asal India tersebut yakni, memasukkan hewan atau produk hewan ruminansia dari negara yang belum bebas PMK sesungguhnya sangat berisiko besar.

“Karena masuknya penyakit hewan yang sangat berbahaya tersebut di wilayah Negara kita mengancam pada ternak sapi dan kerbau, juga ternak berkuku genap lainnya seperti kambing, domba dan babi,” katanya.

Teguh menegaskan, saat ini Indonesia dinyatakan oleh OIE (Badan Kesehatan Hewan Internasional) sebagai negara yang statusnya bebas PMK, sementara itu menurut Resolusi No.15 OIE Mei 2016, India pada saat ini masuk dalam kategori negara yang belum bebas PMK baik untuk negara maupun zona.

Berubah status lndonesia sebagai negara yang bebas PMK tanpa vaksinasi, lanjutnya, jika melakukan importasi ternak atau produk ternak dari negara yang belum bebas PMK akan membawa konsekuensi mengubah status Indonesia tidak lagi sebagai negara yang bebas PMK.

“Dampaknya akan ada hambatan untuk mengekspor berbagai produk pertanian ke negara yang statusnya bebas PMK seperti Jepang, Korsel dan sebagainya,” katanya.

Menurut Teguh, harga daging kerbau yang sangat murah akan mengganggu/mendistorsi terhadap usaha peternakan sapi lokal di Tanah Air. Masuknya daging kerbau yang sangat murah dibandingkan dengan harga daging sapi yang sudah terbentuk saat ini akan menurunkan minat dan semangat peternak rakyat untuk memelihara sapi.

Dalam jangka panjang, tambahnya, akan menempatkan Indonesia pada posisi sebagai net importer daging sapi. Hasil Sensus Pertanian tahun 2013 oleh Badan Pusat Statistik, menurut dia, menunjukkan saat ini terdapat sekitar 5,5 juta rumah tangga peternak Sapi.

Pihaknya menilai tingginya harga daging sapi saat ini tidak lepas dari kegagalan Pemerintah untuk mewujudkan swasembada daging sapi.

Program Swasembada Daging Sapi 2010 dan Program Swasemba Daging Sapi 2014, lanjutnya, menurut KPK telah menggunakan APBN sekitar Rp18 triliun telah gagal dan berimplikasi saat ini lebih dari 50 persen kebutuhan daging sapi harus diimpor dengan konsekuensi harga daging sapi baik dalam bentuk daging beku ataupun sapi bakalan tidak dapat lepas dari nilai tukar rupiah ke dolar AS.

“Seandainya program swasembada daging sukses, dipastikan kita tidak perlu impor dan tidak ada pengaruh atas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing khususnya dolar yang sangat fluktuatif,” katanya.

Menurut dia, kebijakan pemerintah yang sangat pragmatis tersebut akan semakin menjauhkan keinginan Presiden Joko Widodo agar di tahun 2026 Indonesia dapat swasembada daging sapi .

Oleh karena itu pihaknya mengimbau agar kebijakan yang diambil Pemerintah untuk mengatasi harga daging sapi yang dianggap terlalu tinggi tidak mengorbankan kepentingan peternak sapi tokal.

Teguh juga mengingatkan pada saat ini sedang dilakukan proses uji materi( judicial review) atas pasal3 6UU No. 4L/2014 tentang Perubahan atas UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara : L29/PAUXlll/ 2015.

Pasal 36 tersebut adalah landasan hukum yang digunakan oleh Pemerintah untuk memasukkan hewan dan produk ruminansia dari suatu unit usaha atau zona suatu negara yang dianggap telah bebas Penyakit Mulut dan Kuku.

Proses uji materi sedang berjalan dan saat ini tinggal menunggu putusan Mahkamah Konsitusi atas perkara No:129/PUU-Xlll/2015 tersebut.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka