Jakarta, Aktual.com — Sejak petualangan Sherina (2000) sampai sang pemeran nya kini telah dewasa, hingga Laskar Pelangi (2008) yang kini telah besar menjadi sang Pemimpi, Indonesia kini Darurat film Anak-Anak. Seperti yang disampaikan ketua Lembaga Sensor film, DR. Ahmad Yani Basuki, M.Si dipenghujung tahun 2015 lalu, bahwa “Indonesia defisit film anak-anak”. Para sineas beralasan bahwa film anak-anak biayanya mahal dan tidak laku. Padahal pengaruh film terhadap jiwa manusia sangat besar, khususnya bagi anak-anak dan remaja yang cenderung mencari contoh dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan.

Pengaruh film itu bukan hanya terbatas pada cara berpakaian dan gaya hidup saja, tetapi sering pula menimbulkan pengaruh yang lebih jauh, misalnya dalam pembentukan karakter yang cenderung pada kekerasan dan kejahatan. Tetapi film pun bisa menjadi sarana Dakwah yang efektif dan efisien serta mampu menyentuh banyak kalangan.

Menciptakan Iklim Positif Bagi Film Islami

Ketika Kebudayaan bersinergi dengan motif ekonomi, menjadikan nilai luhur budaya suatu Bangsa bertarung lepas di alam pasar bebas. Maka jangan salahkan jika Produk budaya yang muncul dan massif adalah produk budaya yang tidak mencerminkan nilai luhur Bangsa dan Negara yang bersifat etis dan Religius. Industrialisasi Seni Budaya menjadikan Kebudayaan sebagai komoditas Kapitalis termasuk didalam nya Produksi film-film yang bernilai etis dan religius akan menjadi komoditas utama perfilman bila terdapat permintaan yang layak secara komersial.

Benturan kebudayaan yang bermuara pada benturan peradaban ini telah memasuki ruang-ruang komersialisasi, sehingga kesadaran akan kebutuhan nilai positif harus bergerak menjadi permintaan kolektif yang dapat dilihat sebagai Pasar bagi pegiat produk budaya khususnya perfilman. Permintaan kolektif ini bisa dibangun melalui aktivitas menjahit simpul-simpul massa seperti yang dilakukan oleh Kawan-kawan KOPFI (Komunitas Pencinta Film Islami) saat memperjuangkan permintaan atas jadwal tayang dan pemutaran kembali film-film positif bagi generasi muda. Seperti halnya intensitas hujan yang tinggi di Daerah Bogor, menjadikan kebutuhan akan Payung dan Jas Hujan meningkat, maka sebuah Iklim yang positif akan membentuk permintaan yang realistis berbasis kebutuhan. Perjuangan kawan-kawan KOPFI ini menunjukan fakta bahwa sesungguhnya banyak pihak dan kalangan masyarakat Indonesia yang merindukan Film-film bermutu dan bernilai.

Oleh karena itu, biaya Produksi Film Anak Islami yang mahal sekalipun, akan tetap di produksi bila penontonnya secara membludak menghendaki. Sebagaimana film-film aneh, seronok dan tidak mendidik pun, lambat laun akan menghilang dari peredaran manakala generasi muda kita (dengan potensi bonus demografi) sudah terbangun selera positif nya melalui pembiasaan mengkonsumsi produk budaya bernilai luhur dan etis-religi.

Menyiasati Biaya Produksi Melalui Penciptaan Pasar Yang Pasti

Selama ini, Masyarakat Indonesia, yang mayoritas Islam dalam Produk Kebudayaan yang sejatinya adalah turunan dari pada nilai-nilai religiusitas Bangsa, hanya dijadikan objek dan pasar bagi berbagai produk kebudayaan termasuk perfilman. Segala keuntungan dari semangat anak bangsa memajukan perfilman positif tidak dinikmati secara ekonomis oleh masyarakat itu sendiri. Disatu sisi, tidak sedikit dari Production House yang setelah menciptakan film bernilai mutu positif dan mendapat apresiasi, lalu kembali memproduksi film-film yang miskin nilai positif nya dengan alasan permintaan dan menguntungkan dsb. Sehingga sudah saat nya, Masyarakat Indonesia menjadi konsumen sekaligus pemilik dari hasil-hasil karya anak bangsa. Budaya Gotong Royong yang mengakar dalam darah dan nadi bangsa, bisa kita implementasikan dalam menyiasati kebutuhan biaya produksi. Gotong Royong, Urunan, Udunan, Patungan dan berbagai istilah lainnya yang mewujudkan konsep berjama’ah kita dalam menyelesaikan permasalahan.

Co-operative System atau Konsep Koperasi bisa kita gunakan baik dengan atau tanpa lembaga Koperasi itu sendiri. Sehingga kebutuhan akan film anak islami menjadi sebuah gerakan senibudaya positif berbingkai Industri Kreatif dengan semangat Koperasi, Gotong-royong, dari kita oleh kita dan untuk kita. Gerakan model ini seperti istilah crowdfunding yang dikenal dan dipopulerkan oleh sebuah band asal Inggris bernama Marillion saat menggalang dana dari fans mereka untuk melakukan tur ke AS pada tahun 1997.

Menyelamatkan Generasi Emas Indonesia

Tahun 2045 yang digadang-gadang sebagai puncak keemasan Indonesia bertepatan dengan 100 Tahun Kemerdekaan NKRI. Ketika fase kematangan seseorang seseorang dinisbatkan pada usia 40 tahun, maka pada range waktu usia tersebut, seseorang berpotensi memasuki fase awal puncak produktifitasnya. Manusia Indonesia yang berusia 40 tahunan pada saat 2045 kelak adalah insan muda kita yang terlahir di kisaran tahun 2005-2006 dimana saat ini, dipenghujung tahun 2015 dan awal tahun 2016, generasi ini adalah generasi yang berusia rata-rata 10 tahunan. Artinya kelak para punggawa Bangsa, Generasi Muda Indonesia yang berbasis Usia 40 Tahunan adalah anak-anak Indonesia saat ini yang sedang duduk di Bangku Sekolah Dasar.

Mari kita renungkan sejenak, kala anak-anak kita dalam fase pertumbuhan dan pembelajarannya, dihadapkan pada produk-produk berpengaruh yang tidak menjadi tuntunan bagi mereka. Anak-anak Indonesia dipertontonkan Film-film Horor, laga, Komedi, Percintaan hingga pola pergaulan bebas dan makhluk jadi-jadian, hal ini dikarenakan memang tidak lagi ada pilihan. Belum lagi nilai budaya Hedonisme dan Konsumtivisme yang menjelma seolah menjadi gaya hidup panutan, sejatinya sangat tidak tepat bagi proses pertumbuhan kejiwaan anak Indonesia yang bernafaskan Pancasila, penuh nilai luhur bersifat etis dan religius. Penguatan Pondasi Kejiwaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa melalui produk senibudaya yang berpengaruh besar dalam pertumbuhan dan pembentukan Karakter anak-anak generasi penerus bangsa kelak ini, merupakan langkah Kaderisasi Kepemimpinan yang nyata. Sudah saat nya kita melakukan gerakan kolektif dalam mencintai dan memproduksi Film Anak Islami. Oleh karena itu, kita harus nyatakan bahwa, Indonesia butuh film Anak Islami.

Buitenzorg, 01 Januari 2016

Oleh: Maulana Syawal