Kepentingan bisnis
Aspek lain yang mengemuka dalam forum seminar terbatas tersebut, yaitu adanya campur tangan kepentingan bisnis yang ditengarai akan semakin memainkan pengaruh besar dalam memicu meningkatnya perlombaan senjata nuklir di berbagai kawasan, tak terkecuali di Asia Tenggara.
Dalam konteks inilah, Laksamana Muda Robert Mangindaan merasa perlu mengingatkan bahwa politik luar negeri AS lewat Indo-Pasifik merupakan manuver membangun aliansi keamanan. Tapi secara tersirat adalah membendung kekuatan China dengan Belt and Road Initiatives-nya (BRI).
Lebih lanjut Mangindaan menginformasikan bahwa AS dalam upaya membangun kekuatan senjata nuklirnya pada tingkat maksimum, telah mengeluarkan anggaran pertahanan sebesar 5,2 triliun dolar AS untuk memodernisasi tiga perangkat: peluncur, pengendali dan hulu ledak.
Menyadari kenyataan tersebut, para narasumber maupun peserta aktif sampai pada pandangan bahwa dengan berakhirnya Perjanjian INF menyusul pembatalan sepihak oleh Presiden Trump pada awal Februari lalu, nampaknya AS bermaksud untuk meningkatkan postur militernya secara lebih agresif, serta untuk mengondisikan kembali perlombaan senjata nuklir seperti di era Perang Dingin sehingga tidak menghargai sama sekali negara-negara lain baik di kawasan Asia Pasifik maupun di kawasan Eropa yang notabene sebagian besar merupakan negara-negara sekutu AS.
Selain itu Mangindaan juga menyinggung satu isu yang cukup menarik. Betapa besar campur tangan kepentingan bisnis the Military Industry Complex (Kompleks Industri Militer) dalam menentukan arah kebijakan strategis pertahanan dari negara-negara adikuasa yang saling bertarung dalam Perang Dingin (1950-1989).
Menurut dia, di balik menajamnya perlombaan senjata nuklir sejak era Perang Dingin, korporasi-korporasi industri pertahanan strategis telah mengendalikan rezim persenjataan baik konvensional maupun nuklir.
“Jadi pada kenyataannya bisa dibilang, konsensus mulai dari NPT, SALT hingga INF hanya semata manuver bisnis negara-negara maju atau adikuasa,” katanya.
Pandangan dan analisis Laksamana Mangindaan, semakin diperkuat oleh beberapa kajian GFI sebelumnya. Misalnya, Michel Chossudovsky dalam bukunya bertajuk “Toward a World War III Scenario; The Danger of Nuclear War”, menggambarkan adanya kepentingan-kepentingan korporasi yang sangat kuat di balik program pengembangan energi nuklir maupun persenjataan nuklir. Bahkan keduanya saling tumpang-tindih satu sama lain.
Beberapa produsen senjata AS mendapatkan tender kontrak pengadaan berbagai persenjataan strategis miliaran dolar AS dari Kementerian Pertahanan (Pentagon).
Dengan demikian, program peningkatan dan pengembangan nuklir AS di luar skema perjanjian INF nampaknya juga bertautan dengan beberapa kontraktor pertahanan. Terkait dengan hal tersebut, nampaknya beberapa pejabat tinggi yang merupakan pemain kunci di era kepresidenan George W Bush yang kerap disebut kaum Neokonservatif, saat ini juga memainkan peran yang cukup penting dan strategis di balik keputusan Presiden Trump menarik diri dari perjanjian INF pada 1987.
Sehubungan dengan beberapa simpul penting yang mengemuka dalam seminar terbatas GFI tersebut, maka Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang yang masuk dalam kategori non-nuclear state, kiranya cukup beralasan untuk menaruh kekhawatiran yang cukup besar. Sehingga perlu merumuskan beberapa langkah strategis untuk menangkal peningkatan perlombaan senjata nuklir di Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara (ASEAN).
Menyikapi beberapa simpul pemikiran dan pandangan tersebut, maka saatnya Indonesia untuk kembali memainkan peran aktif dalam perdamaian dunia. Khususnya dalam memprakarsai kembali perundingan-perundingan berskala multilateral dalam kerangka perlucutan senjata (disarmament) dan pemeliharaan perdamaian (peacekeeping).
Untuk itu, gagasan dan usulan dari Marsekal Pertama Adityawarwan dari Kemhan RI, patut dijadikan titik tolak pengembangan lebih lanjut, yaitu mendorong negara-negara non-nuklir untuk menegakkan Non Proliferation Treaty (NPT). Selain itu menekan negara-negara nuklir menghormati NPT dan kembali ke meja perundingan.
Melakukan pendekatan kepada negara-negara yang tergabung dalam NATO yang tidak setuju dengan kebijakan Presiden Trump dan membangun kerangka kerja sama dengan negara-negara non-nuklir untuk mengingatkan negara-negara nuklir terhadap kemungkinan dampak buruk bagi pengembangan nuklir yang tidak bertanggung jawab di masa depan.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan