Rinto Setiyawan, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)

Jakarta, aktual.com – “Bagaimana jadi bangsa kok kecelik terus?”

Kalimat Cak Nun itu terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya adalah diagnosis keras atas perjalanan Indonesia. Selama puluhan tahun, bangsa ini seperti berpindah dari satu fase harapan ke fase kekecewaan berikutnya. Dua puluh lima tahun kecelik, lalu tiga puluh dua tahun kecelik, kemudian masuk era reformasi—yang diharapkan menjadi titik balik—namun ternyata hanya melahirkan kecelik dalam bentuk baru.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang menipu rakyat. Pertanyaan yang lebih jujur adalah: mengapa rakyat selalu bisa ditipu? Mengapa bangsa ini terus mengulang kesalahan yang sama, meski aktor politik silih berganti?

Jawabannya tidak terletak semata pada moral individu, melainkan pada struktur negara yang memang memungkinkan rakyat terus tertipu secara sistemik.

Indonesia rajin mengganti pemimpin, tetapi jarang berani membenahi arsitektur ketatanegaraan. Kita berharap hasil berbeda dari kerangka yang sama. Selama rakyat tidak benar-benar ditempatkan sebagai pemilik dan penguasa kedaulatan, maka setiap pergantian rezim hanya akan menghasilkan variasi baru dari kecelik lama.

Di sinilah makna sejati Indonesia Emas 2026 seharusnya diletakkan. Indonesia Emas bukan sekadar target ekonomi, bonus demografi, atau statistik pertumbuhan. Indonesia Emas adalah keputusan untuk menghentikan siklus tertipu, dengan mengoreksi fondasi negara.

Jika negara dianalogikan sebagai rumah, maka rakyat adalah pemilik rumah. Pemerintah hanyalah pengelola yang diberi mandat untuk mengurus urusan sehari-hari. Masalah muncul ketika pengelola bertindak seolah-olah pemilik, sementara pemilik hanya diberi janji dan simbol kedaulatan.

Perubahan konstitusional pasca-amandemen UUD NRI 1945 memperkuat kondisi ini. Rakyat tetap disebut sebagai pemegang kedaulatan, tetapi kehilangan alat untuk menguasai dan menjalankannya secara nyata. Kedaulatan berubah menjadi konsep normatif—indah dalam teks, lemah dalam praktik. Sejak saat itu, rakyat mudah diyakinkan, mudah diarahkan, dan akhirnya mudah kembali tertipu.

Akibatnya, demokrasi berjalan secara prosedural, tetapi miskin perlindungan substantif. Pemilu rutin digelar, namun jarang menghasilkan perubahan struktural. Negara semakin disamakan dengan pemerintah, dan pemerintah semakin jauh dari posisi sebagai pelayan rakyat.

Indonesia Emas 2026 seharusnya menjadi titik balik dari pola ini. Bukan dengan menambah jargon pembangunan, melainkan dengan memulihkan kedaulatan rakyat secara nyata. Artinya, negara harus dipisahkan tegas dari pemerintah. Pemerintah harus kembali menjadi pelayan publik, bukan pemilik kekuasaan. Lembaga negara harus berdiri di atas kepentingan jangka panjang bangsa, bukan kepentingan elektoral lima tahunan.

Pemulihan ini menuntut keberanian kolektif. Ia bisa ditempuh melalui berbagai mekanisme konstitusional—konvensi nasional, referendum rakyat, atau jalur hukum lain—tetapi tujuannya satu: menghentikan siklus bangsa yang terus tertipu.

Cak Nun pernah mengingatkan bahwa bangsa yang terus kecelik bukan karena bodoh, tetapi karena tidak pernah diberi posisi untuk benar-benar berdaulat. Selama rakyat hanya menjadi objek kebijakan, kecelik akan selalu menemukan jalannya.

Indonesia Emas 2026 bukan janji teknokratik. Ia adalah pilihan moral dan konstitusional: memilih untuk berhenti mengulang kesalahan yang sama, memilih untuk membangun negara yang jujur pada rakyatnya, dan memilih untuk keluar dari lingkaran tertipu yang terlalu lama kita terima sebagai kenormalan.

Jika bangsa ini berani mengambil pilihan itu, Indonesia Emas bukan mimpi. Ia adalah jalan keluar—menuju negara yang tidak lagi mempermainkan rakyatnya, dan rakyat yang tidak lagi rela ditipu.

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain