Jakarta, Aktual.com – Setelah Indonesia ditetapkan sebagai negara melanggar aturan GATT 1994 oleh Appelate Body World Trade Organization (WTO: Organisasi Perdagangan Dunia) pada 9 November 2017 lalu, Masyarakat Sipil Indonesia yang terdiri dari Indonesia for Global Justice (IGJ), Bina Desa, dan Serikat Petani Indonesia (SPI) merasa khwatir pemerintah akan tunduk dengan tekanan tersebut.

Menurut mereka, pemerintah tidak perlu takut atas tekanan tersebut, bahkan mereka menilai sebaiknya Indonesia keluar dari WTO karena hanya menguntungkan Amerika Serikat (AS) dan New Zealand atas perdagangan hortikultura, produk hewan dan turunannya.

“IGJ, Bina Desa, dan SPI meminta agar Pemerintah Indonesia tidak membuat komitmen yang merugikan Indonesia dalam putaran Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke 11 yang akan dilaksanakan di Argentina pada 10-15 Desember 2017,” kata Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti secara tertulis, Selasa (21/11).

Appelate Body WTO meminta Indonesia mentaati GATT 1994 dengan tidak membatasi impor perdagangan hortikultura, produk hewan dan turunannya. Padahal apabila keran itu dibuka, maka produksi nasional akan mengalami babak belur.

“Kepentingan petani kecil Indonesia harus diprioritaskan ketimbang isu-isu baru yang akan digagas oleh negara maju seperti E-commerce dan investment facilitation. Posisi Indonesia pada perundingan isu Pertanian harus berpihak pada petani kecil Indonesia, kalau tidak tercapai maka komitmen Indonesia di WTO harus segera dipertanyakan”, tegas Rachmi.

Menurut Rachmi, KTM Ke-11 WTO akan menjadi putaran perundingan yang paling penting, hal ini karena salah satunya adalah masa akhir untuk memutuskan solusi permanen dari Proposal Cadangan Pangan Publik untuk tujuan ketahanan pangan yang mandek pada saat pembahasan di KTM ke-9 WTO di Bali pada 2013 yang lalu.

Apalagi KTM Ke-11 ini akan didesak untuk menyelesaikan berbagai isu Doha yang sempat ‘dilupakan’ pada saat KTM Ke-10 atas kepentingan Negara maju yang hendak memastikan pembahasan isu – isu Singapura dapat segera disepakati di WTO.

Ketua Departemen Luar Negeri Serikat Petani Indonesia (SPI), Zainal Arifin Fuad, menyatakan bahwa salah satu agenda pembahasan KTM WTO yakni Publick Stock Holding. SPI menilai pembahasan ini secara jelas akan mengancam kedaulatan pangan—salah satunya dengan mematikan fungsi Bulog yang juga sudah disimpangkan fungsinya atas desakan IMF dan Bank Dunia diakhir era orde baru.

“Untuk itu, jalan mewujudkan kedaulatan pangan yakni pertanian harus dikeluarkan dari WTO,” tegas Zainal.

Sedangkan Achmad Yakub dari Bina Desa mengingat pengalaman puluhan tahun perundingan di WTO yang tidak produktif, sehingga sudah selayaknya pemerintah Indonesia mendorong kerjasama alternatif yang berkeadilan sosial di KTM WTO 11 nanti.

“Sebenarnya kita sebagai bangsa punya pengalaman mendorong kerjasama budaya, ekonomi politik pembangunan sesuai semangat Konferensi Asia Afrika 1955. Kontekstual dengan kondisi sekarang, dimana antar negara saling bersaing dan kanibal secara ekonomi politik,” pungkas Yakub.

Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta