Jakarta, Aktual.com – Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara mewanti-wanti jeratan utang pemerintah Indonesia yang makin mengkhawatirkan. Apalagi tren pertumbuhan utang lebih tinggi dari tren pertumbuhan ekonomi.
“Tapi selama ini, pemerintah kerap berdalih rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih aman. Padahal belajar dari krisis Eropa rasio utang bahkan tak menjadi indikator yang pas dalam menilai risiko gagal bayar suatu negara,” ujar Bhima kepada Aktual.com, Minggu (6/8).
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) hampir tiga tahun ini sudah menumpuk utang lebih dari Rp1.100 triliun. Utang pemerintah di bawah Jokowi melonjak tajam menjadi Rp3.706 per Juni 2017. Sementara kebutuhan pendanaan utang yang semula ditargetkan Rp400 triliun, di tahun ini terancam menjadi Rp467,3 triliun akibat meledaknya defisit anggaran menjadi 2,92 persen di APBN Perubahan 2017.
“Jadi di APBNP 2017 itu, rasio utang bakal mencapai 29,3 persen dan secara psikologis pemerintah klaim utang itu masih aman karena di bawah 30 persen (dari PDB). Padahal di banyak negara rasio utang tak menjadi patokan satu negara bisa lolos dari jeratan default (gagal bayar),” terang dia.
Dia memberi contoh studi dari Center for Economic Policy Research, negara Italia dan Belgia yang memiliki rasio utang terhadap PDB di atas 100 persen, justru masih tak dianggap masuk program penyelamatan utang International Monetary Fund (IMF). Sementara Irlandia dan Spanyol rasio utangnya 40 persen malah jadi pasien IMF.
“Jadi, diibanding berdebat berapa rasio utang yang aman, sebaiknya pemerintah sadar bahwa Indonesia sudah masuk dalam fase kecanduan utang,” kecam dia.
Ditambah lagi, kata dia, pertumbuhan utang dari tahun 2015 ke 2016 cukup tinggi mencapai 14 persen, sementara pertumbuhan ekonomi hanya mentok di angka 5 persen.
Sehingga, kecepatan laju penambahan utang dibanding pertumbuhan ekonomi jelas membawa dampak terhadp naiknya rasio utang pada PDB di tahun mendatang. “Ini belum mengkalkulasi kewajiban bayar utang jatuh tempo pemerintah yang mencapai Rp810 triliun pada 2018-2019,” jelas dia.
Pemerintah pun diminta untuk belajar pada kasus gagal bayar utang untuk mendanai ambisi pemerintah yang banyak terjadi di beberapa negara. Dan ternyata dalih berutang untuk membangun infrastruktur juga tidak selalu dibenarkan.
Contoh terbaru terjadi di Sri Lanka. Kegagalan mereka dalam membayar utang berakibat pada penjualan aset strategis pelabuhan dan bandara kepada sang kreditur, China.
“Jadi maksud mau membangun infrastruktur untuk mendorong ekonomi, justru malah masuk dalam jebakan utang atau debt trap. Makanya sekaranag, istilah debt trap menjadi perdebatan penting di abad 21 ini,” tutup Bhima.
Pewarta : Busthomi
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs