Jakarta, Aktual.com – Keinginan pemerintah melakukan impor gas dari Singapura merupakan kebijakan kontroversi, pasalnya negara tetangga itu tidak memiliki ladang gas dan dikenal sebagai negara broker, oleh karenanya disinyalir gas yang akan dijual ke Indonesia merupakan gar dari negara Indonesia sendiri.
Namun demikian Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan kebijakan ini diambil atas pertimbangan harga gas impor yang didapat melalui perusahaan Keppel Offshore & Marine relatif lebih murah sekitar USD 3,8 per MMBTU.
“Kita impor boleh saja kalau murah untuk industri kita. Nah mereka menawarkan harganya lebih murah,” kata Luhut di Jakarta, Senin (21/8).
Kemudian yang menjadi pertanyaan atas urgensi kebijakan impor ini adalah diketahui bahwa persediaan gas dalam negeri melebihi kebutuhan konsumen, namun Luhut bersikeras untuk impor dengan alasan gas dalam negeri lebih mahal dan membebankan biaya pokok produksi (BPP) PLN.
“Kalau dapat harga yang lebuh murah (lebih baik impor). Saya kan pedagang, sama mau cari yang lebih murah,” pungkas luhut.
Benarkah hargas gas dari Singapura lebih murah? Berdasarkan informasi yang diterima Aktual.com, ternyata harga USD 3,8 per MMBTU yang disampaikan oleh Luhut itu, baru hanya harga trasportasi dan regastifikasi. Artinya dengan ditambah harga wellhead di singapura, total harga LNG bisa lebih mahal dari harga domestik.
“Harga USD 3,8 baru transport sama regasnya. Coba landed ICP berapa? Kalau USD 11,5 persen dari 50 udah berapa? Ditambah USD 3,8 jadi berapa? Nah jawab sendiri deh,” kata sumber Aktual.com, Rabu (23/8).
Untuk diingat, pada acara Gas Indonesia Summit 2017 di Jakarta Convention Centre bulan lalu, Pemerintah memperkirakan tidak perlu melakukan impor gas hingga pada tahun 2019 karena adanya tambahan produksi dari Lapangan Jangkrik yang dikelola oleh ENI. Produksi gas juga akan meningkat apabila Lapangan Tangguh Train 3 dan Blok Masela juga berproduksi sesuai rencana.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka