Jakarta, Aktual.com – Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni meminta seluruh komponen bangsa Indonesia untuk mewaspadai “sampah putih Asia” dari Australia, sebagaimana diucapkan PM Singapura Lee Kwan Yew 30 tahun lalu.
“Ucapan PM Singapura itu masih relevan dengan sikap arogan Australia yang diskriminatif dalam menjalin hubungan bertetangga dengan Indonesia,” katanya di Kupang, Sabtu (21/7).
Ia mengatakan lebih dari 30 tahun lalu, Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yew menamakan Australia sebagai “sampah putih Asia” dengan mengutip istilah orang Amerika yang mengacu pada orang-orang miskin kulit putih pada waktu lalu,terutama di daerah pedesaan selatan AS, yang merupakan kelas sosial paling bawah dengan standar hidup yang rendah.
Ia menambahkan istilah ini juga merujuk pada orang-orang yang tidak diterima dalam masyarakat, yang tidak peduli dengan kelompok sosial, dan dianggap berbahaya karena mereka bisa saja penjahat, orang-orang yang sulit ditebak, dan tidak peduli terhadap otoritas politik, hukum atau moral.
Sikap Pemerintah Australia yang sangat berbahaya dan tidak peduli terhadap otoritas politik hukum atau moral, misalnya, tanpa merasa malu mencaplok wilayah perairan Indonesia di Laut Timor sejak tahun 1972 dan merampok seluruh kekayaan sumber daya alam minyak dan gas bumi untuk kepentingan nasionalnya.
Selain itu guna melegitimasi hasil kejahatannya di Laut Timor, kata Tanoni, Australia tidak segan-segan mengklaim secara sepihak Gugusan Pulau Pasir di selatan Pulau Timor itu sebagai cagar alam Nasional Australia.
Padahal, kata dia, gugusan Pulau Pasir itu adalah milik masyarakat tradisional asal Pulau Timor, Rote, Sabu dan Alor di Nusa Tenggara Timur sejak 500 tahun silam.
Ia menambahkan ribuan perahu nelayan tradisional Australia diberangus dan kemudian para nelayannya dipenjarakan tanpa dasar hukum yang sah. Yang paling terkini, ujar Tanoni, adalah kasus petaka tumpahan minyak Montara tahun 2009 di Laut Timor yang telah membunuh lebih 100.000 mata pencaharian masyarakat miskin di pesisir Nusa Tenggara Timur.
Disamping itu menimbulkan banyak penyakit aneh hingga membawa kematian dan sekitar 60.000 hektar terumbu karang hancur serta seluruh ikan dasar dan biota laut lainnya juga musnah.
Tanoni menambahkan Pemerintah Australia melarikan diri dari tanggung jawabnya dan menyatakan dalam kasus pencemaran laut Timor itu Australia tidak bertanggung jawab dan urusan tersebut merupakan urusan Pemerintah Indonesia dan PTTEP Thailand.
Padahal ada banyak kesepakatan antara RI-Australia dalam kaitan dengan penyelesaian kasus ini.
Sebaliknya, Australia selalu menekan Indonesia untuk melakukan berbagai hal demi kepentingan nasionalnya, seperti kerja sama dalam bidang kejahatan transnasional termasuk menghentikan manusia perahu dan lainnya.
Bukan itu saja, kata dia, akan tetapi Pemerintah Australia juga melanggar Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 Bab XII yang terdiri atas 45 pasal (192-237). Dalam Bab tersebut terdapat beberapa aspek penting yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, seperti adanya kewajiban umum negara-negara dalam hal perlindungan lingkungan laut (Pasal 192-193), serta kewajiban negara dalam hal pencemaran (Pasal 194-196).
Selain itu, kerja sama global dan regional dalam rangka perlindungan lingkungan laut (Pasal 197-201), bantuan teknik (Pasal 202-203), serta monitoring dan analisa lingkungan.
Tanoni mengatakan Australia dan Indonesia merupakan para pihak yang turut meratifikasi UNCLOS 1982 ini, sehingga ikut mengikat kedua belah pihak.
Namun, Australia terus menggunakan dilomasi liciknya dan selalu menolak permintaan Indonesia untuk kerja sama selesaikan kasus pencemaran Laut Timor ini.
“Indonesia harus bersikap tegas menuntut Pemerintah Australia bertanggung jawab atas kompensasi terhadap kerugian sosial ekonomi rakyat dan kerusakan lingkungan di Laut Timor dan restorasi kembali Laut Timor yang keseluruhannya berjumlah 20 miliar dolar AS,” katanya. (ant)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka