Wakil Tetap RI untuk PBB di New York Dian Triansyah Djani dalam pertemuan Dewan Keamanan (DK) PBB mengenai Suriah, di New York, AS, Rabu (19/2/2020). (PTRI New York)
Wakil Tetap RI untuk PBB di New York Dian Triansyah Djani dalam pertemuan Dewan Keamanan (DK) PBB mengenai Suriah, di New York, AS, Rabu (19/2/2020). (PTRI New York)

Jakarta, aktual,com – Indonesia meminta agar kekerasan yang tengah terjadi di wilayah Idlib, Suriah, saat ini untuk segera dihentikan, dan mendorong semua pihak kunci untuk mengembalikan ketenangan di wilayah itu, serta tidak memperpanjang penderitaan para warga sipil.

Pernyataan tersebut disampaikan Wakil Tetap RI untuk PBB di New York Dian Triansyah Djani dalam pertemuan Dewan Keamanan (DK) PBB mengenai Suriah, 19 Februari lalu.

“Eskalasi dan kekerasan harus dihentikan. Gencatan senjata perlu dihormati secara serius,” kata Dubes Djani dalam pertemuan tersebut, seperti disampaikan melalui keterangan tertulis PTRI New York, Jumat.

Menurut PBB, sejak eskalasi dimulai pada 1 Desember 2019, tercatat 900 ribu orang telantar dan kehilangan tempat tinggal, mayoritas perempuan dan anak-anak.

Selain itu, terdapat laporan bahwa bayi dan anak kecil meninggal dunia akibat cuaca dingin yang sangat ekstrem di wilayah itu.

Sementara itu, bantuan kemanusiaan yang dilakukan PBB dan mitra kemanusiaan lain sudah kewalahan memenuhi permintaan di lapangan.

Dubes Djani menggarisbawahi pentingnya kondisi yang positif untuk memajukan proses politik Suriah, khususnya Komite Konstitusional. Indonesia yakin bahwa pihak-pihak Suriah akan selalu siap untuk berdialog dan melanjutkan koordinasi, dengan fasilitasi dari PBB.

“Kompleksitas konflik Suriah jangan ditambah dengan aksi-aksi maupun retorika yang semakin memprovokasi dan memperparah situasi yang ada,” kata Dubes Djani.

Indonesia memandang saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menahan diri dan mencari solusi konkret bagi Suriah.

Ketegangan kembali meningkat antara Turki dan Suriah, yang didukung oleh sekutunya Rusia, atas konflik di Idlib—benteng pemberontak yang tersisa dari sembilan tahun perang saudara di Suriah, di mana pasukan pemerintah melakukan serangan.

Serangan itu telah mendorong ribuan warga sipil untuk menyelamatkan diri dari Idlib, dan Turki telah menuntut gencatan senjata dan meminta pemerintah Suriah untuk menarik pasukannya.

Ankara telah mendesak Moskow, yang mendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad, untuk menghentikan serangan di Idlib. Serangan itu telah memicu gelombang migran ke Turki yang saat ini menampung 3,6 juta pengungsi Suriah.

Sejumlah pembicaraan telah dilakukan oleh kedua pihak, namun belum tercapai kata sepakat.

Presiden Recep Tayyip Erdogan menyatakan Turki mungkin menggunakan kekuatan militernya untuk memukul mundur pasukan Suriah, kecuali pemerintah Suriah menarik pasukannya sebelum akhir Februari ini.

Pada 2018, Turki dan Rusia telah menandatangani kesepakatan zona deeskalasi di Idlib, yang memungkinkan kedua pihak mendirikan pos pengamatan militer di kawasan itu.

Namun, sejak eskalasi kekerasan di Idlib, kedua belah pihak saling menuduh telah mencederai perjanjian tersebut, demikian laporan Reuters.

Artikel ini ditulis oleh:

Eko Priyanto