Jakarta, Aktual.co — Penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika bermula dari pendirian Indonesia mengenai pentingnya membangun kerjasama antara negara-negara Asia-Afrika. Negara-negara yang baru merdeka dan negara-negara yang masih terjajah di kedua benua ini memerlukan ikatan kerjasama untuk memajukan perdamaian dan kesejahteraan.

Urgensi kerjasama Asia-Afrika itu kian mendesak guna menanggapi tantangan dan realitas aktual yang dihadapi negara-negara Asia-Afrika: Pertentangan antara Blok Barat (kapitalis) dan Blok Timur (komunis) yang mengancam ketertiban dan perdamaian dunia; sebagian besar negara-negara Asia dan Afrika menjadi korban imperialisme-kolonialisme; perlunya kerjasama antara negara-negara Asia dan Afrika dalam menghadapi masalah pembangunan ekonomi, sosial, pendidikan, dan kebudayaan; serta pelaksanaan politik apartheid (diskriminasi) di beberapa negara, terutama di Afrika Selatan.

Dalam pidatonya di muka parlemen pada Agustus 1953, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menerangkan bahwa “kerjasama erat antara negara-negara tersebut tentulah memperkuat usaha ke arah tercapainya perdamaian dunia yang kekal”. Ia  kemudian menunjuk pada Piagam PBB yang mengatur kerjasama regional.

Pendirian Indonesia tersebut menemukan jalan perwujudannya, ketika pada bulan April 1954 PM Ali mendapatkan undangan dari PM Sri Lanka (Ceylon), Sir John Kotelawala, untuk menghadiri Sidang Panca Perdana Menteri dari Burma, Sri Lanka, India, Pakistan, dan Indonesia yang akan diadakan di Kolombo. Sidang ini dipraksai PM Sri Lanka karena kekhawatiran dan keprihatinannya atas situasi peperangan di Indocina pada waktu itu; meningkatnya agresi komunis di bumi Asia, dan perkembangan persenjataan nuklir. Dalam rangka memenuhi undangan tersebut, PM Ali bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Merdeka pada pertengahan April 1954.

Seperti dikisahkan oleh Roeslan Abdulgani, dalam pertemuan itu, Presiden Soekarno berpesan kepada PM Ali agar pertemuan lima Perdana Menteri di Kolombo itu dapat meluaskan gagasannya ke arah kerjasama regional di tingkat Asia-Afrika, dan memperingatkan agar Indonesia jangan sampai mundur dalam soal ini. “Ingat, Ali, ini adalah cita-cita bersama; hampir 30 tahun yang lalu kita di Pergerakan Nasional melawan penjajahan, kita sudah mendengungkan solidaritas Asia-Afrika,” pesan Bung Karno.

Yang diingatkan menimpal, “Bung Karno,” kata Pak Ali, “Saya harap jangan Bung Karno menyamakan sikap hati-hati sebagai sikap nguler kambang. Sebaliknya kita jangan grusa-grusu. Saya tak akan menyamakan sikap dinamis sebagai sikap grusa-grusu.” Mendengar jawaban Pak Ali, Bung Karno tersenyum saja; dan dengan senyuman itu, roman muka Pak Ali yang tadinya “agak merengut” jadi cerah kembali, ikut tersenyum (Abdulgani, 2013: 21-23).

Bersambung
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual

Artikel ini ditulis oleh: